Selasa, 30 November 2010

V.ia inspirasiku

kau anggap apa aku selama ini???

penikmat ragamu?

pemuja nafsumu?

penghibur kesepian mu?



pelengkap dahagamu?

atau tai kucing di sandal barumu???

ketika kau d ujung jenuhmu...

kau buang aku laksana yang kluar dari lubangmu



kau anggap apa rasa ini???

rasa anggur yg memabukanmu??

rasa jeruk yang melenakamu??

atau rasa jamu yg begitu pait d tenggorokanmu???



q paham sepenuhnya inginmu......???

ya.....semakin paham aku akan inginmu..

V.ia inspirasiku

kau anggap apa aku selama ini???

penikmat ragamu?

pemuja nafsumu?

penghibur kesepian mu?



pelengkap dahagamu?

atau tai kucing di sandal barumu???

ketika kau d ujung jenuhmu...

kau buang aku laksana yang kluar dari lubangmu



kau anggap apa rasa ini???

rasa anggur yg memabukanmu??

rasa jeruk yang melenakamu??

atau rasa jamu yg begitu pait d tenggorokanmu???



q paham sepenuhnya inginmu......???

ya.....semakin paham aku akan inginmu..

cinta V.ia

satu hal lagi yang kupelajari dari peristiwa cinta V.Ia (Rita afia)dan pembenarannya selain persimpangan adalah hakekat sebuah cinta dan masalah tentang suatu keadaan. perlu disadari bahwa cinta itu butuh pengorbanan dan cinta adalah soal memberi bukan menuntut. tatkala kita memperhitungan untung rugi sebuah cinta maka yang muncul adalah sebuah masalah hasil ego, produk manipulasi otak.
saat cinta menghantam cadas ketidak an maka rasanya hati ini hancur berkeping keping, cinta bertepuk sebelah tangan membuahkan guratan guratan kepedihan pada setiap lekuk hati serta sayatannya membuat ngilu hingga jiwapun mengharu biru.
kamus besar bahasa cinta memberi istilah untuk keadaan ini adalah sakit hati.
sebelumnya mari kita mundur sejenak, hal ini perlu sebagai perenungan dan dialog 2 diri pribadi antara aku dan hati nurani, kalau kita tengok asal muasalnya sakit hati ini timbul karena ego kita menstimulus otak untuk menyimpulkan keadaan seperti ini sebagai masalah. tentu kesimpulan ini bukan hasil khayalan tapi hasil pembelajaran pikiran bawah sadar atas pengetahuan yang keliru atau lingkungan yang salah, bahkan sebagai kesimpulan wajar sebuah sejarah.
Sebab manusia kebanyakan apabila keinginnannya, angan angannya, atau harapannya tak terpuaskan maka dikatakanlah sebuah masalah sebagai pelarian bahkan pencarian kambing hitam atas keadaan yang dialami. Maka apabila kita tengok jauh ke dalam hati nurani, saat kita haturkan sebuah cinta untuk seseorang kemudian orang itu tidak membalas sesuai keinginan kita, maka disitulah sebenarnya ketulusan cinta kita dipertanyakan. sebab bila kita benar benar mencintainya, sungguh tuk mempersembahkan cinta suci, maka saat keadaan ini terjadi kita akan dengan ikhlas menerimanya. Karena cinta bukan perhitungan untung rugi atau perbuatan yang harus dibalas seperti upeti. mencintai dan dicintai adalah hak pribadi masing masing orang.
tanyakanlah kembali pada diri, apakah aku mencintainya? apakah aku benar benar mencintainya? jika masih ada rasa nyeri dihati dan sesak di dada maka bisa dipastikan itu bukanlah cinta tapi ego serta nafsu tuk hanya sekedar ingin memiliki.
Kemudian akhirnya disadari ini bukanlah masalah tapi hanyalah suatu KEADAAN yang harus dilewati, maka yang ada bukanlah sakit hati melainkan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan sebagai pembelajaran hati untuk menjadi lebih baik. konon di dimensi yang fana ini tak ada yang kekal dan abadi, bahkan jika harapan kita saat itu terpenuhi pun suatu saat nanti pasti akan diambil dari kita, sebab kita tidak pernah memiliki, semuanya akan kembali kepada asalnya kepada keadaan sebelum penciptaan. sehingga perlu disadari kembali semuanya adalah hanya KEADAAN yang harus dilewati.
terima kasih kepada sang bidadari yang telah berperan indah dalam pentas megah cintaku, terima kasih telah membuatku menjadi pribadi yang berusaha lebih memahami diri sendiri dan menerima segala KEADAAN yang terjadi, sebab aku mencintaimu setulus hati.

mampus

mampus...
aku memang layak mati
dalam dekapan gigilnya malam
seribu perih
merobek robek hatiku tanpa basa basi
anjing, serigala, malaikat tak bakal menyentuh bangakaiku
lelah bersusun susun
tak jua tak bersua
sesal mendera awan menjelma
gugurnya hujan air mata menetes
tersisa diri sehimpun derita
seribu sakit hati bawa mati dalam sunyi

cerita suatu hari

damai
peluk dirimu
kedua tangan mungilmu
kecup bibir kecilmu
sesekali senyum dan tawamu
teriakan nyaring iringi
hentakan tarian kakimu

terjatuh, kau bangun
belajar tentang kehidupan
belajar warnai bumi
belajar mencintai, mengasihi

buat warnamu, anakku
cari bahagiamu
aku selalu ada
untukmu

tak akan habis waktu

melewati siang malam bersama
dan biarkan cinta memeluk
menempuh sepanjang jalan
dengan rasa yang tak akan habis
selami gemintang kurasa
menjadi sepasang binar
menjelajah semesta, berdua
dan ditemani rasa yang tak akan habis
tampakkan senyummu bersama mentari
esok, menyeruak memecah hari
menyertai langkah menapak bumi
dan ada cinta yang tak akan habis
aku menyulam waktu denganmu
masih panjang masa kita bercengkerama
di sini dan nanti, di sana

resah

gerah.
ingin menggusah ampiran setiap resah
yang terungkat setiap kali.
gelisah.
baiknya meninggalkan kesah-kesah itu
di padang entah
atau menguburnya jauh,
sangat jauh di dalam lemah
dan melupakannya.
tak usah ada nisan.
biarkan dia melebur bersama tanah.
mungkin pada saatnya akan menguap
bersama matahari yang biksah
yang akan memanaskannya
hingga merepih setitik sari
dan tak lagi menyesak bila terhirup.

resah

gerah.
ingin menggusah ampiran setiap resah
yang terungkat setiap kali.
gelisah.
baiknya meninggalkan kesah-kesah itu
di padang entah
atau menguburnya jauh,
sangat jauh di dalam lemah
dan melupakannya.
tak usah ada nisan.
biarkan dia melebur bersama tanah.
mungkin pada saatnya akan menguap
bersama matahari yang biksah
yang akan memanaskannya
hingga merepih setitik sari
dan tak lagi menyesak bila terhirup.

lelah

kapan aku pulang?
aku lelah berpetualang.
lelah terengah,
dan udara menghampa.
penat kurambah pucuk duri,
ujung ilalang.
menentang angin yang begitu kuat menampar.
meremukkan tulang-tulang tengkorak,
merepihkan belulang dan kulitku.
kapan aku pulang?
aku lelah berjalan.
tapi, waktu masih terus menyeretku.

episode di Bumi

menunggu tetesan embun
yang jatuh di tepi malam
di pucuk daun mangga di samping rumah
yang kuharap tak mengering
mungkinkah menunggu pelangi itu ?
seperti mengharap matahari
di kepekatan malam
sesungguhnya, telah ada sejak dulu
tentang kata-kata yang bertuah
yang tersurat di putaran waktu
dan memenuhi langit dengan makna
berbincang tentang bumi berputar
bercakap tentang cara meniti masa
semua telah tertulis di kitab
dan itu tersimpan dalam jaman
: tinggal niat menyiratnya
menari jari berhitung keagungan
doa bersenandung hanya di hati
terus menelisik dosa yang tertinggal
menetes manik air menyentuh tanah
kuadukan keresahan
yang tak juga terkikis di perjalanan

selembar daun waru

selembar daun waru,
apalah artinya ?
manik embun dan,
titik debu tak juga membuatnya beda
tetap akan tersurat sama, terbaca sama
gurat daun tak tersirat, jelas
tiuplah, selayak angin membelai helai
terkuak gurat-gurat
seperti lembaran kitab yang tak bersekat
hembuslah, selayak angin mengayun
dia akan menari mengikut takdir
mengarung waktu, kemudian
menjadi coklat dan kering,
apalah artinya ?
daun waru kering terserak,
di tanah coklat
dia telah mati, dilupakan

Mata,air mata

mentari pucat
mata berlinang
ada jerit
liris
miris
berkubang darah
berkubang air mata
berkubang doa
berkubang duka
berkubang prahara
air mata siapa ?
tangis siapa ?
ratap siapa ?
anak manusia
rembulan pasi
asap meninggi
merah jingga api
merona langit
tertadah tangan
tak terhingga
terbentang muka
mata tak berkata
pias, pias, pias
wajah tak berdarah
wajah kosong
tercetak pasrah
dan geram
tak berdaya

tetes air

tetes hujan
malam hari
serasa mematah hati
ingatkan pada
lagu bintang
yang terdiam
tetes air
bukan hanya di mata
menetes juga
di palung hati
teringat lakon
manusia di dunia
banyak, hanya laksana bedak
tak meresap di raga
lupa jiwa, lupa rasa
tetes air di jagad
menabuh tanah, menabuh hati
seperti suara lonceng bidadari.
semoga itu pertanda,
waktunya manusia untuk meraih matahari

tetes banyu

tetesing udan
ing wayah ratri
rinasa amedhyat ati
ngelingake marang
tembang lintang
kang sirep
tetesing banyu
ora mung ning netra
uga tumetes
ning telenging ati
yen kelingan laku
jalma ing donya
akeh lakon mung kaya boreh
tan rumasuk ing raga
lali jiwa, lali rasa
tetesing banyu ing jagad
nabuh lemah, nabuh manah
kaya suara genthaning amaranggana.
muga kuwi pratanda,
wayahe jalma nggegayuh bagaskara

Di balik mendung

bias asap menghilang di cakrawala
lalu tetes air yang horizontal
jatuh, mengalir mencumbu tanah
mencipta rima di bebatuan,berirama
menambah lamunan ke puncak ekstasi
menerawang berandai-andai
di balik mendung, ada mata dewa
menantang, mengajak bersitatap
dan tak cuma memandang beku
malah membuatku semakin membatu !
lalu mulailah
kususun serpihan gambar, sepotong sepotong
kulukiskan warna-warna, segaris segaris
menyesap rasa angin, mencari setitik manis
kurasakan, hempasan badai
ataukah semilir sepoi ?

kasih....

kasih,
andai derai airmataku tampak
jangan kau hiraukan
itu hanyalah debu yang singgah di mataku
bila tampak sedu sedan olehmu
jangan kau hiraukan
karena itu mungkin sesak nafas oleh batukku
bila langkahku gontai
jangan kau bantu
aku hanya perlu bersandar sejenak menghilang lelah
bila wajahku kuyu
jangan kau hibur
aku hanya perlu tidur, mengenyahkan kantukku
aku tak ingin kau bersedih
itu biarlah untukku
biarkan senyummu mengembang
biar dunia tahu
:tak ada apa-apa !

mungkin aku melepasmu

kubiarkan rindu ini mengikis
berbilang waktu telah berlalu
membiarkan rasa itu terjebak
menyiksa, di balik terali hati
menikmati rindu,
seperti merasakan kabut pagi
menyentuh, namun tak tersentuh
apakah aku harus melepasmu ?
hingga hanya akan hadir
dalam bingkai mimpi
tanpa bisa kumiliki
apakah aku harus melupakanmu ?
seperti sekedar sekelebat bayangan
yang bahkan tak berarti
walau untuk setitik memori
menikmati rindu,
seperti menikmati terbenamnya mentari
indah, sesaat, kemudian sepi
mungkin, aku harus melepasmu

barisan sujud

satu dua,  edaran bulan
terjebak dalam riuh pusaran
melupa hening alunan
saat embun mulai jatuh
menyapa dahaga rumpun daun
dan celoteh angin liris
kurasa kering alas malam
seperti kerontangnya manah
sempat terlupa membasahinya
dengan sisa air di muka, di kening
sesekali tetesan bening di sudut mata
dan sejuta keluh kesah
dan sedikit doa
pada barisan sujud
semoga namaku masih terselip
tak pernah tertepis atau terkikis
selalu menjadi bagian deret di sana
meniti jalan di tulisan waktu
mengentahkan titik tentu
dan bersabar menghitung nikmat
yang tak sadar, telah tersaji
di setiap edaran bumi

sebagian yg hilang

hari itu, sepucuk jiwaku hilang
meninggalkan jejak pedih
meniris air mata
menyisa jelaga di sudutnya
saat menatap ruang itu, kosong
mengusap membelai udara
yang bertahun menyahut berbincang
dan bercengkerama dengan alunanku
hanya tertinggal
kilasan tumpang tindih
gambar-gambar yg beranyam
seperti photo-photo tua di album lusuh
berkisah di sisi tembok kusam
tepekur di pojok ruang
bersanding debu, berhias sawang
biasanya, di situ aku mereka
tapi, kursi itu tak lagi ada
menguap seperti melodiku
membuatku menunduk, penuh
malah membasahi lantai
dengan tetes kesedihan, melangut
entah, entahlah
kapan cuilan itu akan kembali.
mungkin saat sulur-sulur melati
kembali tumbuh dari lemah
menggoda dengan harum pagi dan malam
menunggangkan kembang pada angin lewat.
menyusun lagi serpih-serpih
dari luluh lantak yang bersembunyi
:aku, akan merindu wangimu

kamboja Untuk Bapak

kamboja itu sudah aku tanam, bapak
di atas pusaramu
itu yang mampu kulakukan
untuk mengingat bahwa aku masih anakmu
masih ku dengar pesanmu di jiwa
walau tak sepatahpun
pernah kau katakan padaku
atau hanya sekedar satu belaian
nina bobok yang mengantar tidur
bisa kurasa rindu padamu, bapak
walau aku tak tahu apakah kau
pernah merasakan yang sama
atau sekedar memikirkan yang sama
kamboja itu sudah tumbuh
di atas pusaramu yang sepi
menjatuhkan bunganya satu persatu
menjagamu dari terik matahari
dan semoga, kaupun bisa mencium wanginya
: mungkin, tahun depan
aku akan mengunjungi lagi pusaramu
untuk menyapa, dan berdoa di situ

Rindu Dendam

bukan memasung
rindu memelukku
seperti matahari yang menghangati
seperti malam yang bersetubuh dengannya
rindu, rindu dendam
selalu menoreh luka
yang tak mau sembuh
membungkam mulut
menahan jerit
menambah jerih
di dada
rindu, rindu dendam
pada detik dan setiap porinya
meracun darah di aliran nadi
tak mau hilang
tak akan terbuang
tetap berkubang
di dada
rindu, rindu dendam
merengkuh di relung malam
menggila di peluk hujan
menguntaiku di jalinan hari
: ku tak mau bernafas tanpamu

perempatan jalan

di perempatan jalan
terlukis lamun
sarapan asap debu
dan deru melintas
manusia melaluinya
aku di sana
ada lelah tak terlihat
ada resah yang berdusta
tak rasa tulang berderak
atau ngilu urat
ada kesah yang memberat langkah
duh, Gusti
bukan persimpangan ini
yang membuat benakku berputar
hanya, tercetak di kepala
petak-petak yang semakin menganak pinak

kabar ku baik baik saja???

sungguh menyesak
seperti terbenam
di kedalaman palung.
nyeri perih
terpaku, menghujan
di setiap mili hati.
jejak hari, mengerak
memberat isi kepala dan dada.
kau tahu ?
berbaris telah, harap kutabur
terasa panas hembus nafas
menyelimuti sekujur tubuh
yang semakin rapuh
kau tahu ?
kuukir setiap detik
dengan titik embun di sudut mata
kuseka, seketika
kutatap garang
kau tahu ?
tentang bilik sembunyi
yang menyekap resah sedih
biar hanya tampak diam
atau titik senyum
ada berlaksa andai
juga sepenggal nyanyian luka
yang berulang, di setiap ujung angan.
apakah kabarku baik-baik saja ?

Pekat

dingin tajam menghujam
menyeruak sisi gelap
hitam pekat menyekat
dada terbekap
lingkar hari bertaut
menelikung dendam
geram masa silam
kembali terulang
membumbung kesumat
mendera nurani
ingin melantakkanmu
di telapak kaki
kilat lenyap
pekat menghebat
dingin luluhkan nadi
sepi mendera utuh
enyah !!!
tak layak kau di sini !!!

puisi untuk raga

raga
sampai kapankah kau tanggung dunia ?
terseok di balik amal dan dosa
merajah bumi dengan bayanganmu
yang kerap timbul dan tenggelam
dan terbekap di lorong masa
raga
kuatkah kau sangga semua ?
meretas waktu, tertitik renta
berkelana lalui titian marka
hingga kau jingkatkan kaki takut terluka
raga
masihkah kau nikmati semburat warna jingga ?
di batas hari di batas cakrawala
sangu dirimu menanti malam
lepaskan penat menyapa maya
raga
kemarilah, mendekat
rebahkan dirimu di petiduran
berdua, kita berbincang tentang esok