Selasa, 30 November 2010

V.ia inspirasiku

kau anggap apa aku selama ini???

penikmat ragamu?

pemuja nafsumu?

penghibur kesepian mu?



pelengkap dahagamu?

atau tai kucing di sandal barumu???

ketika kau d ujung jenuhmu...

kau buang aku laksana yang kluar dari lubangmu



kau anggap apa rasa ini???

rasa anggur yg memabukanmu??

rasa jeruk yang melenakamu??

atau rasa jamu yg begitu pait d tenggorokanmu???



q paham sepenuhnya inginmu......???

ya.....semakin paham aku akan inginmu..

V.ia inspirasiku

kau anggap apa aku selama ini???

penikmat ragamu?

pemuja nafsumu?

penghibur kesepian mu?



pelengkap dahagamu?

atau tai kucing di sandal barumu???

ketika kau d ujung jenuhmu...

kau buang aku laksana yang kluar dari lubangmu



kau anggap apa rasa ini???

rasa anggur yg memabukanmu??

rasa jeruk yang melenakamu??

atau rasa jamu yg begitu pait d tenggorokanmu???



q paham sepenuhnya inginmu......???

ya.....semakin paham aku akan inginmu..

cinta V.ia

satu hal lagi yang kupelajari dari peristiwa cinta V.Ia (Rita afia)dan pembenarannya selain persimpangan adalah hakekat sebuah cinta dan masalah tentang suatu keadaan. perlu disadari bahwa cinta itu butuh pengorbanan dan cinta adalah soal memberi bukan menuntut. tatkala kita memperhitungan untung rugi sebuah cinta maka yang muncul adalah sebuah masalah hasil ego, produk manipulasi otak.
saat cinta menghantam cadas ketidak an maka rasanya hati ini hancur berkeping keping, cinta bertepuk sebelah tangan membuahkan guratan guratan kepedihan pada setiap lekuk hati serta sayatannya membuat ngilu hingga jiwapun mengharu biru.
kamus besar bahasa cinta memberi istilah untuk keadaan ini adalah sakit hati.
sebelumnya mari kita mundur sejenak, hal ini perlu sebagai perenungan dan dialog 2 diri pribadi antara aku dan hati nurani, kalau kita tengok asal muasalnya sakit hati ini timbul karena ego kita menstimulus otak untuk menyimpulkan keadaan seperti ini sebagai masalah. tentu kesimpulan ini bukan hasil khayalan tapi hasil pembelajaran pikiran bawah sadar atas pengetahuan yang keliru atau lingkungan yang salah, bahkan sebagai kesimpulan wajar sebuah sejarah.
Sebab manusia kebanyakan apabila keinginnannya, angan angannya, atau harapannya tak terpuaskan maka dikatakanlah sebuah masalah sebagai pelarian bahkan pencarian kambing hitam atas keadaan yang dialami. Maka apabila kita tengok jauh ke dalam hati nurani, saat kita haturkan sebuah cinta untuk seseorang kemudian orang itu tidak membalas sesuai keinginan kita, maka disitulah sebenarnya ketulusan cinta kita dipertanyakan. sebab bila kita benar benar mencintainya, sungguh tuk mempersembahkan cinta suci, maka saat keadaan ini terjadi kita akan dengan ikhlas menerimanya. Karena cinta bukan perhitungan untung rugi atau perbuatan yang harus dibalas seperti upeti. mencintai dan dicintai adalah hak pribadi masing masing orang.
tanyakanlah kembali pada diri, apakah aku mencintainya? apakah aku benar benar mencintainya? jika masih ada rasa nyeri dihati dan sesak di dada maka bisa dipastikan itu bukanlah cinta tapi ego serta nafsu tuk hanya sekedar ingin memiliki.
Kemudian akhirnya disadari ini bukanlah masalah tapi hanyalah suatu KEADAAN yang harus dilewati, maka yang ada bukanlah sakit hati melainkan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan sebagai pembelajaran hati untuk menjadi lebih baik. konon di dimensi yang fana ini tak ada yang kekal dan abadi, bahkan jika harapan kita saat itu terpenuhi pun suatu saat nanti pasti akan diambil dari kita, sebab kita tidak pernah memiliki, semuanya akan kembali kepada asalnya kepada keadaan sebelum penciptaan. sehingga perlu disadari kembali semuanya adalah hanya KEADAAN yang harus dilewati.
terima kasih kepada sang bidadari yang telah berperan indah dalam pentas megah cintaku, terima kasih telah membuatku menjadi pribadi yang berusaha lebih memahami diri sendiri dan menerima segala KEADAAN yang terjadi, sebab aku mencintaimu setulus hati.

mampus

mampus...
aku memang layak mati
dalam dekapan gigilnya malam
seribu perih
merobek robek hatiku tanpa basa basi
anjing, serigala, malaikat tak bakal menyentuh bangakaiku
lelah bersusun susun
tak jua tak bersua
sesal mendera awan menjelma
gugurnya hujan air mata menetes
tersisa diri sehimpun derita
seribu sakit hati bawa mati dalam sunyi

cerita suatu hari

damai
peluk dirimu
kedua tangan mungilmu
kecup bibir kecilmu
sesekali senyum dan tawamu
teriakan nyaring iringi
hentakan tarian kakimu

terjatuh, kau bangun
belajar tentang kehidupan
belajar warnai bumi
belajar mencintai, mengasihi

buat warnamu, anakku
cari bahagiamu
aku selalu ada
untukmu

tak akan habis waktu

melewati siang malam bersama
dan biarkan cinta memeluk
menempuh sepanjang jalan
dengan rasa yang tak akan habis
selami gemintang kurasa
menjadi sepasang binar
menjelajah semesta, berdua
dan ditemani rasa yang tak akan habis
tampakkan senyummu bersama mentari
esok, menyeruak memecah hari
menyertai langkah menapak bumi
dan ada cinta yang tak akan habis
aku menyulam waktu denganmu
masih panjang masa kita bercengkerama
di sini dan nanti, di sana

resah

gerah.
ingin menggusah ampiran setiap resah
yang terungkat setiap kali.
gelisah.
baiknya meninggalkan kesah-kesah itu
di padang entah
atau menguburnya jauh,
sangat jauh di dalam lemah
dan melupakannya.
tak usah ada nisan.
biarkan dia melebur bersama tanah.
mungkin pada saatnya akan menguap
bersama matahari yang biksah
yang akan memanaskannya
hingga merepih setitik sari
dan tak lagi menyesak bila terhirup.

resah

gerah.
ingin menggusah ampiran setiap resah
yang terungkat setiap kali.
gelisah.
baiknya meninggalkan kesah-kesah itu
di padang entah
atau menguburnya jauh,
sangat jauh di dalam lemah
dan melupakannya.
tak usah ada nisan.
biarkan dia melebur bersama tanah.
mungkin pada saatnya akan menguap
bersama matahari yang biksah
yang akan memanaskannya
hingga merepih setitik sari
dan tak lagi menyesak bila terhirup.

lelah

kapan aku pulang?
aku lelah berpetualang.
lelah terengah,
dan udara menghampa.
penat kurambah pucuk duri,
ujung ilalang.
menentang angin yang begitu kuat menampar.
meremukkan tulang-tulang tengkorak,
merepihkan belulang dan kulitku.
kapan aku pulang?
aku lelah berjalan.
tapi, waktu masih terus menyeretku.

episode di Bumi

menunggu tetesan embun
yang jatuh di tepi malam
di pucuk daun mangga di samping rumah
yang kuharap tak mengering
mungkinkah menunggu pelangi itu ?
seperti mengharap matahari
di kepekatan malam
sesungguhnya, telah ada sejak dulu
tentang kata-kata yang bertuah
yang tersurat di putaran waktu
dan memenuhi langit dengan makna
berbincang tentang bumi berputar
bercakap tentang cara meniti masa
semua telah tertulis di kitab
dan itu tersimpan dalam jaman
: tinggal niat menyiratnya
menari jari berhitung keagungan
doa bersenandung hanya di hati
terus menelisik dosa yang tertinggal
menetes manik air menyentuh tanah
kuadukan keresahan
yang tak juga terkikis di perjalanan

selembar daun waru

selembar daun waru,
apalah artinya ?
manik embun dan,
titik debu tak juga membuatnya beda
tetap akan tersurat sama, terbaca sama
gurat daun tak tersirat, jelas
tiuplah, selayak angin membelai helai
terkuak gurat-gurat
seperti lembaran kitab yang tak bersekat
hembuslah, selayak angin mengayun
dia akan menari mengikut takdir
mengarung waktu, kemudian
menjadi coklat dan kering,
apalah artinya ?
daun waru kering terserak,
di tanah coklat
dia telah mati, dilupakan

Mata,air mata

mentari pucat
mata berlinang
ada jerit
liris
miris
berkubang darah
berkubang air mata
berkubang doa
berkubang duka
berkubang prahara
air mata siapa ?
tangis siapa ?
ratap siapa ?
anak manusia
rembulan pasi
asap meninggi
merah jingga api
merona langit
tertadah tangan
tak terhingga
terbentang muka
mata tak berkata
pias, pias, pias
wajah tak berdarah
wajah kosong
tercetak pasrah
dan geram
tak berdaya

tetes air

tetes hujan
malam hari
serasa mematah hati
ingatkan pada
lagu bintang
yang terdiam
tetes air
bukan hanya di mata
menetes juga
di palung hati
teringat lakon
manusia di dunia
banyak, hanya laksana bedak
tak meresap di raga
lupa jiwa, lupa rasa
tetes air di jagad
menabuh tanah, menabuh hati
seperti suara lonceng bidadari.
semoga itu pertanda,
waktunya manusia untuk meraih matahari

tetes banyu

tetesing udan
ing wayah ratri
rinasa amedhyat ati
ngelingake marang
tembang lintang
kang sirep
tetesing banyu
ora mung ning netra
uga tumetes
ning telenging ati
yen kelingan laku
jalma ing donya
akeh lakon mung kaya boreh
tan rumasuk ing raga
lali jiwa, lali rasa
tetesing banyu ing jagad
nabuh lemah, nabuh manah
kaya suara genthaning amaranggana.
muga kuwi pratanda,
wayahe jalma nggegayuh bagaskara

Di balik mendung

bias asap menghilang di cakrawala
lalu tetes air yang horizontal
jatuh, mengalir mencumbu tanah
mencipta rima di bebatuan,berirama
menambah lamunan ke puncak ekstasi
menerawang berandai-andai
di balik mendung, ada mata dewa
menantang, mengajak bersitatap
dan tak cuma memandang beku
malah membuatku semakin membatu !
lalu mulailah
kususun serpihan gambar, sepotong sepotong
kulukiskan warna-warna, segaris segaris
menyesap rasa angin, mencari setitik manis
kurasakan, hempasan badai
ataukah semilir sepoi ?

kasih....

kasih,
andai derai airmataku tampak
jangan kau hiraukan
itu hanyalah debu yang singgah di mataku
bila tampak sedu sedan olehmu
jangan kau hiraukan
karena itu mungkin sesak nafas oleh batukku
bila langkahku gontai
jangan kau bantu
aku hanya perlu bersandar sejenak menghilang lelah
bila wajahku kuyu
jangan kau hibur
aku hanya perlu tidur, mengenyahkan kantukku
aku tak ingin kau bersedih
itu biarlah untukku
biarkan senyummu mengembang
biar dunia tahu
:tak ada apa-apa !

mungkin aku melepasmu

kubiarkan rindu ini mengikis
berbilang waktu telah berlalu
membiarkan rasa itu terjebak
menyiksa, di balik terali hati
menikmati rindu,
seperti merasakan kabut pagi
menyentuh, namun tak tersentuh
apakah aku harus melepasmu ?
hingga hanya akan hadir
dalam bingkai mimpi
tanpa bisa kumiliki
apakah aku harus melupakanmu ?
seperti sekedar sekelebat bayangan
yang bahkan tak berarti
walau untuk setitik memori
menikmati rindu,
seperti menikmati terbenamnya mentari
indah, sesaat, kemudian sepi
mungkin, aku harus melepasmu

barisan sujud

satu dua,  edaran bulan
terjebak dalam riuh pusaran
melupa hening alunan
saat embun mulai jatuh
menyapa dahaga rumpun daun
dan celoteh angin liris
kurasa kering alas malam
seperti kerontangnya manah
sempat terlupa membasahinya
dengan sisa air di muka, di kening
sesekali tetesan bening di sudut mata
dan sejuta keluh kesah
dan sedikit doa
pada barisan sujud
semoga namaku masih terselip
tak pernah tertepis atau terkikis
selalu menjadi bagian deret di sana
meniti jalan di tulisan waktu
mengentahkan titik tentu
dan bersabar menghitung nikmat
yang tak sadar, telah tersaji
di setiap edaran bumi

sebagian yg hilang

hari itu, sepucuk jiwaku hilang
meninggalkan jejak pedih
meniris air mata
menyisa jelaga di sudutnya
saat menatap ruang itu, kosong
mengusap membelai udara
yang bertahun menyahut berbincang
dan bercengkerama dengan alunanku
hanya tertinggal
kilasan tumpang tindih
gambar-gambar yg beranyam
seperti photo-photo tua di album lusuh
berkisah di sisi tembok kusam
tepekur di pojok ruang
bersanding debu, berhias sawang
biasanya, di situ aku mereka
tapi, kursi itu tak lagi ada
menguap seperti melodiku
membuatku menunduk, penuh
malah membasahi lantai
dengan tetes kesedihan, melangut
entah, entahlah
kapan cuilan itu akan kembali.
mungkin saat sulur-sulur melati
kembali tumbuh dari lemah
menggoda dengan harum pagi dan malam
menunggangkan kembang pada angin lewat.
menyusun lagi serpih-serpih
dari luluh lantak yang bersembunyi
:aku, akan merindu wangimu

kamboja Untuk Bapak

kamboja itu sudah aku tanam, bapak
di atas pusaramu
itu yang mampu kulakukan
untuk mengingat bahwa aku masih anakmu
masih ku dengar pesanmu di jiwa
walau tak sepatahpun
pernah kau katakan padaku
atau hanya sekedar satu belaian
nina bobok yang mengantar tidur
bisa kurasa rindu padamu, bapak
walau aku tak tahu apakah kau
pernah merasakan yang sama
atau sekedar memikirkan yang sama
kamboja itu sudah tumbuh
di atas pusaramu yang sepi
menjatuhkan bunganya satu persatu
menjagamu dari terik matahari
dan semoga, kaupun bisa mencium wanginya
: mungkin, tahun depan
aku akan mengunjungi lagi pusaramu
untuk menyapa, dan berdoa di situ

Rindu Dendam

bukan memasung
rindu memelukku
seperti matahari yang menghangati
seperti malam yang bersetubuh dengannya
rindu, rindu dendam
selalu menoreh luka
yang tak mau sembuh
membungkam mulut
menahan jerit
menambah jerih
di dada
rindu, rindu dendam
pada detik dan setiap porinya
meracun darah di aliran nadi
tak mau hilang
tak akan terbuang
tetap berkubang
di dada
rindu, rindu dendam
merengkuh di relung malam
menggila di peluk hujan
menguntaiku di jalinan hari
: ku tak mau bernafas tanpamu

perempatan jalan

di perempatan jalan
terlukis lamun
sarapan asap debu
dan deru melintas
manusia melaluinya
aku di sana
ada lelah tak terlihat
ada resah yang berdusta
tak rasa tulang berderak
atau ngilu urat
ada kesah yang memberat langkah
duh, Gusti
bukan persimpangan ini
yang membuat benakku berputar
hanya, tercetak di kepala
petak-petak yang semakin menganak pinak

kabar ku baik baik saja???

sungguh menyesak
seperti terbenam
di kedalaman palung.
nyeri perih
terpaku, menghujan
di setiap mili hati.
jejak hari, mengerak
memberat isi kepala dan dada.
kau tahu ?
berbaris telah, harap kutabur
terasa panas hembus nafas
menyelimuti sekujur tubuh
yang semakin rapuh
kau tahu ?
kuukir setiap detik
dengan titik embun di sudut mata
kuseka, seketika
kutatap garang
kau tahu ?
tentang bilik sembunyi
yang menyekap resah sedih
biar hanya tampak diam
atau titik senyum
ada berlaksa andai
juga sepenggal nyanyian luka
yang berulang, di setiap ujung angan.
apakah kabarku baik-baik saja ?

Pekat

dingin tajam menghujam
menyeruak sisi gelap
hitam pekat menyekat
dada terbekap
lingkar hari bertaut
menelikung dendam
geram masa silam
kembali terulang
membumbung kesumat
mendera nurani
ingin melantakkanmu
di telapak kaki
kilat lenyap
pekat menghebat
dingin luluhkan nadi
sepi mendera utuh
enyah !!!
tak layak kau di sini !!!

puisi untuk raga

raga
sampai kapankah kau tanggung dunia ?
terseok di balik amal dan dosa
merajah bumi dengan bayanganmu
yang kerap timbul dan tenggelam
dan terbekap di lorong masa
raga
kuatkah kau sangga semua ?
meretas waktu, tertitik renta
berkelana lalui titian marka
hingga kau jingkatkan kaki takut terluka
raga
masihkah kau nikmati semburat warna jingga ?
di batas hari di batas cakrawala
sangu dirimu menanti malam
lepaskan penat menyapa maya
raga
kemarilah, mendekat
rebahkan dirimu di petiduran
berdua, kita berbincang tentang esok

Senin, 29 November 2010

sepi

sepi......
tak kunjung juga berakhir....
sederet kisah cerita mewarnai
melengkapi kesendirian dalam palung rindu
tak urung aku menangis juga sepi.....
tak luput aku berkhayal juga sepi....
sepi........
bicaralah agar taman hatiku kembali sejuk jua indah
menagislah agar pundak ini kembali basah
tertawalah agar dahi ini kembali terkerut
jangan hanya diam kau sepi...
agar kembali berwarna malam kita
bukan seperti warna hitam bercampur putih
sepi........
tidak kah kau ingin pandangi aku malam ini...
tidak rindukah kau akan mata ini
tidak rindukah kau akan bibir
tidak rindukah kau akan kasih sayang ini...
sepi.....akankah kau ttp menjadi sepi.....???

tembok bolong

Senja berganti malam...
Senyap pun menghadang
Andai ku bisa terbang
Ku kan melayang ke negri awan
Ku nanti seorang kekasih
Menyapaku di mlm sunyi
Ku nanti tegur sapamu
Di blk tembok bolong itu
Yup, dialah tembok bolong
Yang slalu temani hari2 kita
Menyongsong indahnya pagi setelah kebersamaan berlalu

Lapar

Lapar.....
Lapar.....
Dengarlah jeritan kami
Wahai kau disana


Lapar.....
Lapar.....
Dengarkanlah keriuhan pekikkan kami
Wahai pengemudi Kami


Lapar.....
Lapar.....
Kau berikan kami santapan
Harapan keindahan janji


Lapar.....
Lapar.....
Kau saling bermesra diatas
Empuknya sandiwara cinta


Lapar.....
Lapar.....
Tiada lagi air mata kami
Yang bersisa untuk hari esok


Lapar.....
Lapar.....
Yang kaya cinta
Semakin kaya
Yang miskin kian melarat


Lapar.....
Lapar.....
Hentikanlah aksi anarkis mu
Jangan kau kuras lagi kerinduan kami


Lapar.....
Lapar.....
Kami muak atas keserakahan
Kasih sayang mu
Dengarkanlah
Wahai engkau yang kami dambakan disana

kembali berharap

Dingin menyapa membekukan kalbu
Saat mata terpejam hanya bayangan halus yang menghiasi
Ingin rasanya berlari mengejar bayang-bayang itu
Walau harus jatuh dan terjatuh lagi

Ketika malam menjelang
Bayangan itu semakin nyata terlihat
Makin dekat terasa
dan kini ku semakin yakin dalam harap
Ku akan mendekap erat yang telah ku dapat

kisah sang angin

Temaram sinar bulan malam ini
Menemani sang angin merangkai cerita
Tak lama berselang
Datanglah ia,
Sang cinta
Sang angin yang gundah
Menyatakan isi hatinya
Aku tak sanggup bila begini, katanya
Bersembunyi di balik bayang ini,
Itu tak baik
Kapan kita bisa keluar?
Dan menatap mentari
Menjadi seperti angin yang menjemput awan
Menjadi seperti angin yang menyapa padang rumput
Itu yang aku mau
Tetapi harapan tinggal harapan
Aku tahu mentari takkan tersenyum
Tidak untuk angin sepertiku
Aku tahu itu
Mendengarnya, sang cinta pun berkata
Terus mengeluh sekarang tak ada guna
Lebih baik menatap masa depn dan berusaha
Walaupun aku tahu
Mentari takkan tersenyum padamu
Tetapi tak taukah engkau
Bahwa senyum terindahku akan senantiasa terpancar
Hanya untukmu,
Tanpa kau minta
….
Menurutku,
Kita jalani dulu
Semua liku-liku
Sambil menunggu
Luluhnya waktu

tak berjdul

Berjalan dengan setengah hati, sebut terseok
Bukan melaju karena kaki tak bermata dan mata tak berbias
Bulir-bulir halus seolah mutiara, bersinar diterpa kilatan cahaya
Tak bernilai tapi sangat berharga
Terbuang tapi tak pernah sia-sia
Sebuah kubangan andai mau berhenti
Deras dan semakin tak terbendung
Sepertinya hati begitu terluka
Masih berjalan bukan melamban
Semakin cepat seiring jantung yang bertambah ritmenya
Bening kristal masih menemani
Seolah peluh mendinginkan tubuh
Tak menghentikan, hanya meredam
Orang lalu lalang
Seperti nyamuk hanya bising terdengar, tak dihiraukan
Arah bukan lagi tujuan
Karena lari tak menjadi pilihan
Membawa serpihan yang semakin berantakan
Mengikuti kaki menjanjikan hati
Pada tempat yang tak bernama
Tak untuk menetap karena sayap selalu rindu mengepak
Dan mulailah berlari
Melajukan kaki yang ingin segera sampai
Masih dengan ribuan tetes di pipi
Yang bukan berhenti tapi tak terbendung lagi
Jangan bilang dia laki-laki, panggil saja manusia
Perasaan tak pernah berkelamin
Tidak hanya sakit tapi bisa juga mati
Malu sudah pergi, yang dia tahu mengeluarkan beban ini
Takut sudah lama lenyap, yang dia mau untuk kali ini
Dia berteriak, dia menerjang
Tak peduli yang menghadang, dia terlanjur meradang
Hanya untuk sebuah kata yang tak sempat diucapkan
Dan hanya bisa dia katakan pada deburan ombak yang saat ini menantang

layaknya badut

Seorang badut mulai merias diri
Di depan cermin dia mulai beraksi
Rutinitas yang membosankan
Setiap hari mencoba menghibur orang lain
Sedang hatinya sendiri diabaikan
Tapi itulah kehidupan
Kadang sesuatu tidak seperti yang kita inginkan
Kembali ke badut
Berangkat pagi pulang di senja hari
Kadang sampai malam hari
Tapi siapa peduli
Si badut mulai bernyanyi
Dengan tangan dan kakinya
Ia coba menciptakan suasana hati
Dia tertawa dan tertawa
Menertawakan dirinya, hidupnya dan dunia ini
Sampai kapan harus seperti ini?
Menertawai diri sendiri
Tapi sepertinya dia sudah tidak peduli
Dan mulailah ia bernyanyi, lagi

mana mimpimu?

Mana mimpimu?
Tunjukkan padaku
Jika kau begitu banyak bicara
Tak sepatutnya kau malu

Pernah kau bilang, “Akulah pejuang”
Lalu dimana semangat itu?
Sedang yang kulihat saat ini kau lebih sering lari
Daripada berdiri dan menghadapi onak di depanmu

Kita pernah bercerita pada malam
Tentang langit juga bulan
Bahwa suatu hari kita tidak hanya akan memandang
Tapi tertawa dan berlarian bersama bintang

Kau taruh dimana mimpimu?
Yang dulu kau tulis di atas selembar kertas
Bukan dengan tinta hitam atau biru
Tapi merah selayaknya bara semangatmu

Sering kau katakan padaku, “Akulah pemimpi besar”
Yang tidak hanya membual apalagi menghayal
Yang begitu yakin tak ada yang tak bisa dikejar
Dan kan kau tunjukkan pada dunia cita-cita yang berhasil kau wujudkan

Tapi dimana sekarang dirimu?
Sedang pikiranmu kadang berterbangan
Dan suaramu yang menggelegar masih tergiang
Bukan hanya di otakku tapi juga orang-orang

Lalu dimana mimpimu?
Yang dulu membuatmu begitu yakin itu hidupmu
Sedang tak kulihat lagi dirimu
Dan orang-orang mulai mencemoohmu

Apa sekarang kau begitu malu?
Bahkan sekedar untuk menunjukkan wajahmu
Sedang kata-katamu begitu melekat di kepalaku
Dan semangatmu telah berhasil membangunkan aku

Ada apa dengan mimpimu?
Yang kaubilang akan kau kejar sampai detik penghabisanmu
Matipun kau mau
Walau saat ini sepertinya kau tak kuat menahan malu

aku detak jam

Ada detak di antara tembok
Tak kuat memang, sabarlah
Jangan buru-buru bicara, kau bisa menakutinya
Dengarkan saja dan lihat bagaimana dia menunjukkan dirinya
Ada detak di antara dinding
Tak bersuara tapi bergerak
Jangan coba sentuh dia, kau bisa membuatnya patah
Tunggu saja dan dengar apa dia bisa bicara
Ada detak di dalam sebuah benteng
Bukan terperangkap tapi sedang sembunyi
Jangan panggil dia, dia akan lari
Di luar saja dan lihat apa dia mau keluar
Dia adalah detak kecil yang sombong
Jangan bilang mengerti jika kau masih bicara
Terima dia apa adanya?
Dia bukan seadanya
Kata seperti itu tak akan menyentuhnya
Jangan kejar dia, dia sudah bosan lari
Masih kau bilang mengerti sedang yang dia lihat kau hanya menghantui
Bilang mencintai tapi yang kau ingin cuma memiliki
Dia hanya sebuah detak yang mudah retak
Salah gerak dan kau cari mati

aku ingin tidur malam ini

aku ingin tidur malam ini
tanpa mimpi
tanpa bayang
aku ingin lelap malam ini
dengan pikiran kosong
tanpa serapah yang biasa tumpah
pada malam yang kian angkuh
aku hanya ingin tidur malam ini
karena aku sudah lelah
dan biarkan matahari membangunkanku esok hari
dan biarkan aku tidur malam ini

kupu kupu malam

Kami adalah kumpulan wanita yang patah hati
Yang dikhianati cinta, hidup bahkan ayah kami sendiri
Kami adalah para wanita yang sakit hati
Yang lahir, hidup hanya untuk menanti mati
Kami hanyalah wanita yang terlalu lama sakit hati
Tak perlu makian untuk menghakimi
Karena bagi kami hidup ini adalah hukuman yang lebih pedih dari sekedar hukuman mati
Kami hanyalah wanita yang tak lagi punya mimpi
Karena kami terlalu disibukkan dengan janji-janji
Untuk apa kami harus mengabdi?
Pada cinta, hidup atau seorang ayah
Yang bahkan tak menginginkan kelahiran kami
Kami hanyalah kumpulan wanita yang tak lagi berhati
Yang tak lagi percaya pada cinta sejati

Sabtu, 27 November 2010

tujuan...

Ku berlayar di tengah badai, 
akankah sampai waktuku berlabuh didermaga cinta. 
Kukayuh biduk sederhana tanpa dayung. 
Akankah tiba masaku menggapai pelabuhan hati.
Malam berganti siang, rembulan dan matahari berkejaran tak henti menjaga.
Takkan perih kubawa letih kearah tuju 
hingga sampai diujung samudramu yang terus bergelora.
Aku tahu hidup baru menunggu, 
sebuah bilik hangat di tanah harapan.
Dan karena kumau maka ku sanggup wujudkan mimpiku.

lelaki sederhanaku...

Engkau lelaki sederhana....
biar kupandangi mata teduhmu yang serupa telaga. 
Biarkan hingga aku tenggelam dalam pusaranmu 
yang tenang dan menghanyutkan. 
sejukmu membasuh luka memberi kesegaran di tubuhku
Kau tak perlu sebiru samudra dan tak perlu seluas laut lepas.
Tak banyak yang kumau, 
hanya kesungguhan dan ketulusan darimu. 
Bukankah itu yang telah kau berikan padaku
saat aku duduk bersandar diantara penat dan lelahku.
Kau biarkan kakiku berendam dibeningmu.

seperti inilah

Cinta semusim bagimu dan aku sungguh tak mengerti
Aku datang dengan sekeranjang cinta dan kita menikmatinya berdua
buah segar yang kupetik dari kebun hati
kau ambil semua dan mengupasnya tanpa sisa
kerna panas begitu terik saat itu
kutahu engkau sangat dahaga
Kini musim bunga dan kau berlari tak menengok lagi
menghisap madu disetiap mahkota seperti tak tersisa waktu
O, sungguh ku tak tahu engkau ini kumbang atau apa ?
‎kebun hatiku tak sempurna
maka buahnyapun tak lagi Seranum dulu
dengan ketulusan dan kesungguhan sederhana saja
sebuah pohon tua dengan sisa buah yang ada
mencoba tawarkan seteguk kesegaran
walau habis dalam satu gigitan
ya, kepada para pecinta yang teramat lelah
apa lagi yang bisa diberikan selain tempat singgah
sebuah oase kecil bagi mereka yang penat tersesat
tak ada taman bunga warna-warni disini
tak bisa ku suguhkan manisnya madu
yang sangat kau suka itu
tak bisa memuaskanmu
selain sebiji Hati
yang tersisa
kau boleh datang dan kau boleh pergi
bukankah itu yang kau mau sejak awal tiba
aku dan kebunku akan selalu ada
disini tersembunyi di tengah gurun
karena aku
hanya seperti ini.......

rindu ini milikmu

Pertama kali ku dengar suara mu,
pertama kali ku dengar bisikan hati mu..
suara mu bergema di jiwa ku..
tidak ku kenali siapa diri mu..
tapi mengapa kau jua yang ku rindu..

kau pandai bermadah..
madah mu mencuit hati ku..
kau pandai bergurau..
gurauan mu, menjadi igauan ku..
desiran tawa mu..
menambat hati ku..
oh.. alangkah indahnya rindu pada diri mu.

pertama kali ku bersua dgn mu..
hati ku berdegup bagaikan dipalu..
jantung ku bergoncang bagaikan digempa..
lirik mata mu.. panahan arjuna ku..
manis senyuman mu, bertakhta mahkota.
oh..indahnya jika selalu bersama mu..

deruan angin membawa kenangan..
kenangan yg lepas, tak akan berulang..
asam dan garam sudah suratan...
bibit-bibit kemanisan bersama mu..
terpaksa ku telan jua..
walaupun ku sedar diri ku siapa

rindu ini

Gemuruh rindu kian menggebu
Desah nafas kian kencang beradu
jeritan hati kian beradu
Saat mata tak bisa bertatap pandang
Saat hanya ada suara dalam telinga
Saat rindu mewakilkan kehadiran
Ragaku terapung dalam hening suara
Saat aku telusuri lekukan rindumu padaku
Yang terpancar dari keindahan bayangmu
Mengharu biru dalam takaran waktu
Sepenggal marah yang kau uraikan
Semakin membuatku sayang kepadamu
Secangkir emosi yang kau suguhkan
Mengajariku untuk memahami dirimu

malu

ku malu bila harus mengakui keadaanku,
lebih baik aku diam,
tak tahu apakah ini jalan terbaik,
tapi aku memilih diam.
perjalanan ini membawaku dalam sedih,
tapi aku malu,
aku malu mengakui bahwa aku sedih..
mengapa engkau terus memandangku,
aku jadi malu dibuatnya…
alihkan saja pandanganmu itu,
aku malu jika harus memandangmu juga…
aku tak mungkin mengatakan hatiku kepadamu,
aku malu jika engkau mengetahuinya…
biarlah kusimpan maluku dalam hatiku..
karena aku malu jika maluku terbaca olehmu..**

Imam sang "Pelac@@"

Ia perempuan cantik

Kembang wangi para lelaki

Setiap hari mereka menciumi

Menggumuli najis tanpa henti


Ia perempuan harum

Menyusuri malam dalam remang

Menyebar nikmat berbungkus laknat

Sambil menghitung-hitung dalam luka


Ia perempuan dalam kembara sepi

Mengumpulkan luka-luka pribadi

Dalam bayang-bayang misteri

Hidup yang tidak pasti


Ketika datang TERANG

Singgahi undangan sang farisi

Yang selalu meludahi dengan dengki

Ia tak perduli karena ada hati

Buli-buli pualam berisi minyak wangi

Ia tumpahkan pada Kaki

Menciumi SANG KAKI 

Air matanya mengalir membasahi

Rambutnya terurai menyekaNya

Tidak ada IMAN yang memahami

Sang IMAM pun mengampuni

 

Perempuan itu lahir kembali

Luka telah mekar jadi bunga

Sepi telah mencair jadi cinta

Segala yang tak terduga terjelma

Ia pergi dengan suka cita.

arti sebuah rasa

Mencintaimu adalah bahagiaku, menyayangimu adalah inginku
Bukan hanya senyum dan juga tawamu saja yang membuatku sangat berarti,
namun lara dan tangismulah yang lebih meyakinkan akan cinta ini

Kadang cinta memang tak memandang logika
Apa dan bagaimana, dimana dan kapan saja yang telah kamu perbuat,
canda, gurau bahkan dusta tak bisa goyahkan rasa

Apa itu salah, ataukah memang seharusnya begitu
yang pasti, ku hanya ingin agar kau tahu tentang perasaan ini
bahwa aku sayang, bahwa aku selalu rindu bahkan cemburu
aku tahu bahwa dengan rasa inilah  kan terwujud

d mana

Untuk hamparan waktu yang begitu lama

Ada rahasia  dalam Apikiranku

Dan untuk waktu yang cukup lama

Ada hal yang ingin kukatakan dalam kegelapan malam

Aku  terhuyung-huyung ke pintu

Untuk mencari alasan

Untuk menemukan waktu, tempat, jam bersamamu



Kutunggu  matahari memancar

Mengusir rasa dingin

Dan selimut kabut  malam

dari ketakutan masa ku

Tekanan begitu memburu

Dan aku tidak bisa tinggal jauh



Aku  melemparkan diri ke laut

Melebur dalam gelombang

Biarkan sapuan ombak menghantam  tubuhku

Untuk menghadapi rasa takut

Dan kupernah percaya

Kamu masih ada untukku



Dimana Aku...

Aku kini punya sayap  yang tidak bisa terbang

Dimana Aku...

Aku sudah tidak bisa menangis

Emosiku membeku dalam danau es

Aku tidak bisa merasakannya

Sampai es mulai mencair

Aku tidak memiliki kekuasaan atas ini
Kau tahu begitu aku takut kehilangan
aku akan tetap hidup disni...disudut ruang hatimu!
hidupku penuh dengan asa kerinduan walau kusadari semua itu tentangmu.Dan seperti malam-malam sebelumnya....kujalani dengan sejuta makna kata meski tanpa kebersamaan.kuhanya mencumbu indah bayangmu disetiap sudut  kamar gelapku!Yach...Senyummu begitu indah kurasakanMenyentuh kalbuku dan mengiris hatiEntah sampai kapan semua ini terus kan berjalan dan aku akan tetap bertahan...Aku dengan setiaku...Dan kamu dengan sejuta kebimbanganmu...Hempaskan aku dengan khayalku dibatu karang

Jumat, 26 November 2010

cerpen "potret kemiskinan"

Lama dari mereka terbuang,begitu mudah tersingkirkan.Di tengah kezaliman,mengantar ruang kenistaan.Bertahan dari keadaan,berjuang untuk hidup.Bukan mereka pemalas, ataupun pembual belaka adanya.Mandi keringat,banting tulang tak segan mereka lakukan,meskipun hanya untuk bertahan hidup.

Teringat kembali ku pada sebagian kisah diantaranya,..mati bersama yang tersayang

Bersama 4 buah hatinya,pemulung lusuh mencoba bertahan,istri menghilang pergi bersama kelaliman,tanpa kesetiaan dan tanggung jawab.Menyusuri jalan,mengais bersama sampah,bau busuk sahabatnya.Tak malu ia menunggu,… sebagian orang yang membuang sisa makanannya.Ya,… ya,.. hanya tuk bertahan.

Hidup yang selalu di hampiri kesedihan,setiap pulang buah hatinya kian selalu menanyakan “bapak bawa apa?”,”ibu kapan pulang?”,”kenapa kami tak sekolah?”,pedih,… perih,.. menusuk dalam hati yang terasa pasti.Terbesit hati tuk mengakhiri penderitaan yang di alami kian terus menghantui.Pemulung itu mencoba meracuni buah hatinya dan mati bersama mereka.Di putuskannya hal itu.

Dengan menjual apa apa yang masih dia punya dan apa apa yang ada,di belikannya baju baju indah tuk buah hatinya,di belikannya makan makanan lezat tuk buah hatinya dan meracuninya.,,,
“ Nak sini, kita berkumpul,bapak ada kabar gembira untuk kalian.Hari ini bapak banyak rejeki,maka bapak belikan ini untuk kalian,dan baju ini dari ibu kalian.Besok ibu… ingin bertemu kalian dengan memakai baju ini,besok pagi sekali kita berangkat,maka pakailah baju ini sekarang supaya besok tidak terlambat”

Serasa angin syurga menyapa anak anak itu, ceria dengan baju baju itu .

“Sekarang makanlah kalian”
“Tidak,.. kami mau bapak yang menyuapin kami” Sahut anak sulungnya
Senyum bersama tangis hati, merona di muka pemulung,”Baiklah,, bapak akan menyuapin kalian satu persatu,dari puteri(anak bungsu) dulu ya,,?”
Mengangguk mereka seraya tak sabar menunggu.Satu persatu di suapinnya,penuh keceriaan di muka mereka dan seusainya di suruh tidur mereka,saatnya giliran pemulung yang makan makanan itu.

Bersama malam gelap gulita,…tlah terasa senja tiba,manakala menyapa seorang teman dari pintu luar…. Guna mengajak mengais sampah.
“Di….. wardi… kamu gak kerja ya…?”
Terbangun kaget pemulung… “Di mana aku,..ini Syurga.. apa Neraka..?”
Melihatnya ke samping buah hatinya masih tertidur,mencoba membangunkan mereka,.. dan,… tak bangun jua,…
“Mereka,… mereka,… tlah mati,… aku,..membunuh mereka,kenapa ku tak bersama mereka?”
Hanya tangis kesedihan penuh penyesalan,.. karena terundang suara tangisan,sesegera mungkin teman di luar,masuk rumah pemulung.

Sekarangpun pemulung itu harus meratapi kesedihannya di balik jeruji besi.
Sebenarnya siapa yang seharusnya merasa paling bersalah dalam kisah ini.

jurang hati

Hilang jiwaku dalam keheningan
Tersudut dalam kehampaan jurang kenistaan
jurang keterpurukan
langit kegelapan
gelegar sang langit dalam kemendungan
kilatan dewa petir menghujam
aku tetap mendongak ke atas
melihat begitu suramnya pandanganku
dalam khayalku jengkal jariku
aku merasakan……., hanya sejengkal aku berdiri dari suramnya
kehidupan didepanku
aku tak ingin terjatuh dalam jurang-jurang itu
aku ingin menemukan jurang kebahagian
jurang harapan
bukan Jurang yang menerakakan diriku
dan tak memberiku kesempatan untuk melihat
kesyurgaan dunia ini

sastra jenuh

Membongkar kata kata, berantakan….
Memporak porandakan susunan susunannya.
Memilih setiap kata kata yang ada….
Mencari kata kata yang bermakna…
Merangkum,menyusunnya menjadi kata sastra…
Ah…. Susah,susah juga ternyata
Mudah tangan membalikkan telapaknya…
Kenapa tidak untuk mencipta sastra…?
Hanya sekedar merangkum kata kata berarti
Bukan untuk semua orang bisa dimengerti
Cukup bagi diri ini…
Wakil hati ini….,jembatan luapan hati ini
Ah…. Mudah kata terucap
Mudah kertas putih tertulis kata kata
Tapi….
Huh…. Ternyata begitu ternyata
Dari sastra yang terucap,begitu mudah terungkap
Tapi kenapa begitu susah tercatat dalam lembaran lembaran kertas putih,,?
Dan….
Dari  lamanya… kenapa begitu mudah kata kata berserakan
Tercampur dengan sampah,kerikil,batu,… begitu berantakan
Kenapa setiap kata kata yang terikat … begitu mudah lenyap
Sirna…. Tertindas hinaan kehidupan
Atau….
Ku hanya tak peduli lagi
Lagi lagi prosa tak mutu tercantum di layar monitor ini
Atau ku tanggalkan saja sastra tanpa makna
Bukan dan jangan jawabannya
Sastra begitu berarti dari arti kata seni
Meski hanya segenggam imajinasi, tapi itu ekspresi
 

mengerti apa???

Ini puisi, bukan puisi, puisi, tidak puisi, puisi, puisi, puisi. Mengerti apa arti puisi tak jelas terus di pahami, Dari mata menjulang kaki bertanya apa puisi apa puisi apa puisi. Tanpa hati sampai kepala bertahta lingkaran api terus mencari kemana di mana arti puisi. Puisi tak indak berlari mutiara kata, lahir di hulu hati bertebaran imajinasi tanpa tak pasti, bahasa cahaya kata bahasa jujur hati terajut benang seni lahir alami bersumber murni… sanubari. Pantas bila puisi indah kata rentetan antrian kata kata mutiara siap baca, pantas bila puisi prosa sajak memabuk pembaca menggontai terlena dari alunan irama kata kata …? Siapa tau arti puisi ku bertanya puisi, selalu puisi puisi puisi dan,.

maknai kami....tikus berdasi

Lagi lagi tikus berdasi lagi lagi menggarong negeri ini” Masyarakatku… bayarlah pajak tepat waktu, bukan untuk siapa siapa untuk kita semua.Dengan membayar pajak kita percepat laju pembangunan, Dengan membayar pajak kita tingkatkan kemakmuran dan kesejahteraan, dari kita untuk kita semuanya.” Entah alasan apa, alasan yang mana bisa kami terima memaksa percaya. Setelah nyata enak enakkan duduk di empuk kursi sofa, megah istana, mercedes benz, jaguar BMW ,VW , volvo mengisi garasi dari jerih payah kami. Kering keringat kami lagi lagi untuk tikus berdasi. Kami seperti terbuai mimpi janji terlontar dari mulut berisi penghianatan melulu.Diam mematung pemandang pameran kemewahan pengendara kesombongan. Berteriak serak kau lukis di kanvas berontak, Seolah hanya mengejar bayangan kelam melepuh lemah tengah himpitan kelam malam.Berkesinambungan dalam keputus asaan. Dirimu tikus tikus berdasi menutup mata dengan kaca berlian upaya palingkan masa depan, torehkan tinta jahannam bercecer menepi kertas kehidupan, lenteran cermin setan tanpa cula tak kasat mata bertengger di kursi kepemimpinan sisa zaman, alas tak di tanah kepala budak bawahan kehidupan kaki terinjak. Oi….. tikus tikus berdasi, tanpa sembunyi tak basa basi hari hari menimba di telaga air mata kami, jangan paksa kami mati berdiri seperti di kejar bubar waktu menuju jadi lagi lagi kembali… wujud asli tikus berdasi.

sajak untuk sahabat

Tak melepas satu kata kala melepas dengan dusta
Melepas kata dengan rasa, rasa bersemayam kasih cinta benihkan tali samar mata merengkuk puing patahan jiwa. Jiwa sahabat. Datang di masa tanpa asa deras curam air mata mongering kerompang telaga. Rasa itu… hadir tersendat lambat perlahan mendekat menjelma sahabat.Menaruh obor obor pembakar jelma setan, tak berserakan rapi di tata searah jalan. Memberi terang langkah gopoh langkah tanpa arah tak berpeta.
Terima kasih sahabat,….
Ku tak bisa membuatkan syair atau puisi indah yang bisa membuatmu terngiang ngiang karenanya, tapi kata kata di atas aku lepas dengan rasa, meski tak langsung ku kerjakan tapi ku selalu memikirkan,… arti dari pemberianmu.

negeriku

Melesat satu kata rasa damai cinta dari negeri seberang entah, kirim kembang mawar menghampar memenuh layar mana kala cahayanya meredup hanyut di antara ajang permainan kehidupan . Masih menggamang angan memangku kegelisahan pahit perih perjalanan kehidupan. Ia mawar menyerbu menyeruak seluruh isi kepala menggali imajinasi menjadi jadi puisi jadi. Di jiwa terkatup diam mencari kata kata terpajang di etalase kamar, mengeja membaca mengulang kata sama sederhana tetap sama.tetap memahami kata memberi arti mawar dari negeri seberang entah,.. sekilas sempat mawar merampas nurani hati keji benci, memecah belantara rahasia dunia, tak pernah tak mau tak membiarkan nafsu menggurui nafasku, langkahku, pemandanganku.
“ Baiklah ku beri arti sendiri dari mawar ini “ jangan tanya apa kenapa itu rahasia

anak jalanan

Senandung sendu meratap-ratap
memar tubuhnya membiru lagi
bibirnya kaku, dingin dan semu..
tapi lantunkan lagu cinta.
Tuhanku, adakah seseorang yang mampu menopang berat deritanya ?
Tuhanku, kirimlah seseorang untuknya.
Menaiki tangga mimpi
mengambil tiap lagu-lagu di langit
ingin temukan kedamaian..
mengais-ngais mimpi dari jalanan, yang kadang terbuang oleh orang yang menaiki mobil mewah.
semburat senyum tipis dari wajahnya
menyimpan keluguan misteri mimpi
yang akan terungkap nanti.
kamu, jangan berhenti bermimpi
aku akan selalu memberimu permata
yang menjadi doa pemimpin langkahmu.
Tuhan, walau semenit jadikanlah Ia orang paling bahagia sedunia.

Untuk Ibu dan Ayahku

Ya Allah,
Rendahkanlah suaraku bagi mereka
Perindahlah ucapanku di depan mereka
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkan hatiku untuk mereka.......
Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya,
atas didikan mereka padaku dan Pahala yang
besar atas kasih sayang yang mereka limpahkan padaku,
peliharalah mereka sebagaimana mereka memeliharaku.
Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan
atau kesusahan yang mereka deritakan kerana aku,
atau hilangnya sesuatu hak mereka kerana perbuatanku,
maka jadikanlah itu semua penyebab susutnya
dosa-dosa mereka dan bertambahnya pahala
kebaikan mereka dengan perkenan-Mu ya Allah,
hanya Engkaulah yang berhak membalas
kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.
Ya Allah,
Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika sebaliknya, maka izinkanlah aku
memberi syafa'at untuk mereka,
sehingga kami semua berkumpul bersama dengan santunan-Mu
di tempat kediaman yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta rahmat-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah yang memiliki Kurnia Maha Agung,
serta anugerah yang tak berakhir
dan Engkaulah yang Maha Pengasih diantara semua pengasih.
Amin Ya Rabbul Alamin..

untuk ibu

Ibu...
adalah wanita yang telah melahirkanku
merawatku
membesarkanku
mendidikku
hingga diriku telah dewasa

Ibu...
adalah wanita yang selalu siaga tatkala aku dalam buaian
tatkala kaki-kakiku belum kuat untuk berdiri
tatkala perutku terasa lapar dan haus
tatkala kuterbangun di waktu pagi, siang dan malam

Ibu...
adalah wanita yang penuh perhatian
bila aku sakit
bila aku terjatuh
bila aku menangis
bila aku kesepian

Ibu...
telah kupandang wajahmu diwaktu tidur
terdapat sinar yang penuh dengan keridhoan
terdapat sinar yang penuh dengan kesabaran
terdapat sinar yang penuh dengan kasih dan sayang
terdapat sinar kelelahan karena aku

Aku yang selalu merepotkanmu
aku yang selalu menyita perhatianmu
aku yang telah menghabiskan air susumu
aku yang selalu menyusahkanmu hingga muncul tangismu

Ibu...
engkau menangis karena aku
engkau sedih karena aku
engkau menderita karena aku
engkau kurus karena aku
engkau korbankan segalanya untuk aku

Ibu...
jasamu tiada terbalas
jasamu tiada terbeli
jasamu tiada akhir
jasamu tiada tara
jasamu terlukis indah di dalam surga

Ibu...
hanya do'a yang bisa kupersembahkan untukmu
karena jasamu
tiada terbalas

Hanya tangisku sebagai saksi
atas rasa cintaku padamu

Ibu..., I LOVE YOU SO MUCH
juga kepada Ayah...!!!

Agnes Monica - Matahariku (High Quality - Better Audio)

'Tukang Jamu Juling

ia selalu berkata di tiap malam malamu...
ia selalu bercanda di lelah raga juga pikiranmu..
ia selalu bercrta sesaat sebelum kantuk melandamu..
ia juga yang mengantarkamu ke pelukan hangat mimpimu..
ya ka slalu bilanag.."dasar kau Tukang jamu yg Juling"..
ia pun tak marah dengan sebutan itu...
ia pun ta risau karena senyum tercipta karena panggilan itu
kadang ia sagt ingin membiarkanmu memilih,,,
meminum  sirup.teh atau kopi manis d sekililingmu..
namun ia juga tidak sanggup dengan cemburunya..
karena mungkin menurut ia semua itu kurang baik buatmu...
telah banyak kau minum jamu itu...
higga kini tak lagi terasa pait d lidahmu..
telah kembali sehat raga jga hatimu..
dan ramuan paling mujarab telah ia buatkan untkmu..
hayati hadirnya Tukang Jamu juling itu..
karena dia lah kau menjadi dirimu....

30 hari

2.592.000 detik cinta ini kita bina..
selama itu pula kau dan aku sanggup menjaga...
walau tak jarang caci juga maki kerap menjadi warna
tak jarang pulah amarah jadi penyedap rasa...
detikpun terus berjalan bersama cinta yg trrcipta
menitpun merangkak menggapai pucuknya..
jam pun berlari mengejar alunanya..
dan haripun lelap dalam buaian kasihnya..
aku tahu ada jarak di antara itu semua...
aku paham kita tak bisa lewati pagar merah itu..
aku mengerti kau tak mudah lepas dari ikatan itu
akusadar dua raga juga nyawa menunggumu d sana..
jangan sedih duhai kekasih Tuhan ku..
saat nanti cinta ini menuai perih
jangan takut kekasih tuhanku
Tuhan telah siapkan tempat untuk raga juga cinta ini menyatu..
tersenyumlah kala malam mengantukanmu
berbahagialah kala pagi mewakiliku...
tanam harapmu kala siang menghangatkanmu..
sampai akhirnya kita miliki senja indah itu....

[HQ] Agnes Monica - Karena Ku sanggup (OFFICIAL VIDEO KLIP)

MULAN JAMEELA "CINTA MATI 3" (OFFICIAL VIDEO)

[Inbox Musik] Mulan Jameela - Jatuh Cinta Lagi (VClip) 09/12/2008

Mulan Jameela Feat. Dewi2 - Sakit Minta Ampun

Kamis, 25 November 2010

cerpen "sudut...."

Ud, migu bsk pulng ap g?, ibu, mbh ptri ma mbk mo k bali, k rmh bude kurti. Anaknya disunat d sna, km kut ap g?”. Itulah, sms yang hari ini membuat aku harus meninggalkan pekerjaanku yang sangat ku cintai. Ah, taka apa lah, tak bisa ku bayangkan jika ibu, mbak, dan embah putri, perempuan-perempuan itu, pergi ke bali dengan beban beberapa tas berisi pakaian masing-masing dan pakaian anak-anak, beberapa kardus berisi bekal makanan dan minuman di perjalanan dan oleh-oleh untuk kerabat di bali, lalu beberapa anak kecil yang selalu tidak mau diam, lari kesana-kemari, minta dibelikan apapun yang dijajakan para penjual, menangis berebut mainan yang baru saja dibelikan dan segala macam tingkah polah yang pastinya akan mampu membuat darah mengepul ke ubun-ubun kepala. Bayangku, betapa repotnya kalau tak ada laki-laki di sana, betapa repotnya kalau tidak ada aku yang turut hadir menjadi kuli gratis mereka. Betapa aku tak tega melihat perempuan-perempuan yang ku sayangi itu terkulai-kulai menenteng kardus-kardus dan tas-tas besar sambil berusaha marah-marah terus demi menertibkan anak-anak kecil. Perempuan-perempuanku itu, dengan kardus-kardus dan tas-tasnya harus tergopoh-gopoh mengejar bus yang tidak akan mau menunggu lama karena harus berangkat cepat-cepat. Perempaun-perempuan yang ku sayangi itu harus mengipasi anak-anak yang terus merengek karena sesak dan pengap ruang bus yang seperti oven, terus saja memanggang penumpang.Sesampainya di pelabuhan Ketapang, setelah mereka dan bus yang mereka tumpangi naik ke kapal laut. Akan ada beberapa kesulitan lagi yang harus dihadapi. Embah putri mabuk laut yang pastinya akan muntah-muntah tak karuan. Ibu yang akan mengurus embah putri dengan baik. Tapi, apa yang bisa dilakukan mbak yang sendirian dengan bayi lima bulan di gendongannya dan harus mengurus dua anak laki-laki kecil lainnya, adikku yang juga adiknya dan anaknya yang juga keponakanku. Pasti mbak nangis di tengah selat Bali karena ulah nakal anak-anak kecil bandel itu. Apa aku bisa tega membiarkan mereka berangkat tanpaku setelah membayangkan sedemikian sulitnya. Belum lagi para copet dan jambret yang pastinya tak akan pandang bulu, tak akan mau tahu kalau wanita-wanita itu sendirian dan sudah kesusahan dari tadi. Tak akan penjahat-penjahat itu mempertimbangkan bahwa sebagian dari mereka itu janda dan tidak memiliki uang yang cukup untuk dijambret. Tak akan mau berpikir para kriminal itu bahwa wanita seharusnya dilindungi dan bukan untuk dijajah dan dijadikan objek sasaran kekerasan. Tak akan mereka berpikir sepanjang itu, pikiran mereka sependek dan sedangkal duit koin. Makanya aku suka dengan orang yang suka mikir, karena memang harga penggunaan otak saat ini sudah begitu mahal, karena stok pasar menipis.Setelah sampai di pelabuhan Gilimanuk Bali, bus pengap akan berjalan lagi ke arah selatan, Denpasar. Bus berhenti di terminal dan perempuan-perempuan itu harus terseok-seok lagi menyeret-nyeret tas-tas dan kardus-kardus itu untuk mencari jasa transportasi umum dalam kota. Pasti terminal itu begitu asing bagi mereka, pasti mereka pikir sangat berbeda dengan ketika mereka berangkat di terminal sepi lengang kota kami. Betapa ramainya terminal ini, dan betapa bingungnya mereka saat itu. Perjalanan mereka yang tanpaku itu, betapa membuat mereka terlihat begitu mengenaskan. Maka, ketika ibu bersedia membayari biaya transportasiku, aku memutuskan untuk ikut saja menemani mereka. Mungkin aku tak akan kuat mengejar jambret yang kabur begitu cepatnya, mungkin aku tak akan begitu berguna dalam hal mengasuh anak, dan mungkin, juga tidak terlalu tangguh untuk bisa mengangkut semua barang sekaligus. Tapi, tetap saja, Harus ada laki-laki di antara mereka.Maka, hari ini dan tiga hari mendatang aku harus tidak bekerja, menemani mereka Goes To Bali.Ini di kawasan terminal kota kami. Dari para peserta keberangkatan kami, tinggal embah putri yang belum hadir. Beliau tinggal dengan pak lek di desa lain. Maka embah putri akan menemui rombongan kami di terminal ini, dengan diantar pak lek tentunya. Seperti yang sudah ku bayangkan, di punggungku tercantol ransel besar berisi berbagai pakaian, di samping kaki kananku tergeletak kardus besar penuh telur dan buah mangga sebagai oleh-oleh, sedangkan di sisi kaki kiriku juga tergeletak kardus besar berisi berbagai macam kue olahan sendiri yang bobotnya tak bisa dianggap remeh. Kesemuanya itu, tanggung jawabku, aku yang harus menentengnya kemanapun kami berjalan. Kalaupun ada yang hilang, berarti mereka harus menyalakiku, menyalahkanku, mendampratku. Tidak boleh selain aku.Bagian mbak adalah mengendalikan anak-anak dengan dibantu ibu. Sedangkan embah putri yang sebentar lagi akan datang harus membawa tas pakaiannya sendiri, mungkin hanya berisi dua pasang pakaian. Cukup enteng ku kira, tak perlu bantuanku untuk membawakannya.Sedangkan anak-anak kecil sudah mulai berlarian kesana-kemari, memaksa embak marah-marah yang membuat suasana menjadi lebih panas dari suhu yang seharusnya. Belum memulai perjalanan saja anak-anak itu sudah minta dibelikan bebagai makanan ringan, susu botol, soft drink, buah-buahan dan berbagai macam barang dagangan di kawasan terminal itu. Si bayi lima bulan yang dalam gendongan pun mulai menangis karena tak betah denga udara panas, dan suara bising dari berbagai pihak, termasuk bising yang keluar dari mulut ibunya sendiri. Keadaan mulai berantakan, kacau tak terkendali.Dan keadaan tambah kacau dengan satu kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut pak lek, yang lurus tertuju padaku. “kamu kok ikut, apa punya uang?”. Tang..!!, langsung menepis habis kepalaku.Sebelumnya, mari saya ceritakan tentang pak lek ini. Bukan dari sifat-sifat baik dan buruknya, tetapi akan saya ceritakan tentang konektivitasnya dengan keluarga kami selain sebagai pak lek. Semenjak bapak meninggal dunia tanpa mewarisi apapun kecuali hutang, pak lek ini lah yang membantu menegakkan ekonomi keluarga kami sedikit demi sedikit hingga ibu bisa bangkit dengan kaki-kakinya sendiri dan tidak membutuhkan siapapun lagi untuk menghidupi dirinya sendiri dan adikku yang masih SD, hingga aku berhasil lulus MAN dan sekarang bisa bekerja untuk makan sendiri. Sekarang, keluargaku, keluarga ibuku mampu mandiri, mampu mengurusi semua hal sendirian. Tapi, bagaimanapun juga, masih tetap harus ada pria dewasa yang bertugas turut mengawasi semuanya. Itulah tugas pak lek sekarang. Pengawas.Dan ku kira, pertanyaannya barusan adalah hasil dari suatu proses evaluasi yang dia lakukan dalam hal perjalanan ke Bali kali ini. Khususnya pada ke-ikut-sertaanku yang tanpa biaya sendiri ini. Aku sudah lulus SMA sederajat, itu artinya aku tidak boleh lagi membebani ibuku dengan meminta uang terlalu banyak. Dan tentu saja pergi ke bali membutuhkan uang yang banyak, kesalahanku adalah tetap pergi walaupun tidak punya uang, hingga membebani ibu untuk hal biaya transportnya.…Bisa-bisanya dia ikut, sudah lulus sekolah masih saja ngrepotin orang tua. Tega-teganya minta uang sebanyak itu untuk ongkosnya. Seharusnya dia sudah tidak boleh meminta apapun lagi ke ibunya. Masakan tidak lihat dia, ibunya bisa menghidupi dan menyekolahkan adiknya saja itu sudah sangat luar biasa. Ibunya juga sudah bersusah-susah membayar hutang yang sedemikian banyak, juga sudah berhasil melunaskan semua tanggungan di sekolah hingga dia dapat ijazahnya. Masih mau apa lagi, untuk ukuran janda miskin, itu sudah lebih dari kapasitas. Tak boleh ada beban lagi.Apa dia tidak tahu sil-silah nenek moyang keluarganya, semua keturunan keluarga ini sudah mencari makan sendiri sejak usia lima belas tahun. Mereka mandiri dan terbiasa hidup susah. Mereka pejuang-pejuang kehidupan. Bahkan di pesantern dulu, aku tak pernah meminta kiriman dari orang tua, aku-lah yang malah mengirimi mereka uang dari sisa tabunganku, darimana aku dapat uang itu adalah pertanyaan lawas. Aku bekerja dan bekerja. Aku tak mau lagi membebani orang tuaku. Sekarang, dengan entengnya dia ikut-ikutan ke Bali minta di bayarin. Minta uang lagi, minta uang lagi, uang lagi, uang terus, uang terus, bahkan untuk hal yang tidak berguna baginya seperti bepergian ke Bali kali ini.Dan lagi, seharusnya dia masuk kerja. Apa dia kira bekerja itu sebegitu gampang untuk ditinggalkan. Awas saja kalau dia dipecat bosnya dan masih minta uang lagi ke ibunya, akan ku marahi habis-habisan dia. Memang gampang mencari pekerjaan di masa seperti ini. Awas kalau minta-minta duwit lagi. Keturunan keluarga ini tidak boleh ada yang semanja itu. Tidak boleh ada yang secengeng itu. Tidak boleh ada yang sebanci itu. Semua harus berjuang untuk apa yang dia butuhkan dan apa yang dia inginkan. Tak akan ada yang segampang uluran tangan orang lain. Kalau mau sesuatu, dia harus memperjuangkan itu sendirian. Tak ada cara lain.…Sesaat setelah pertanyaan yang serasa menyepak kepalaku itu, ku turunkan ransel dari punggung ku. “ sebaiknya aku nggak ikut saja “, kataku. Aku langsung berjalan ke arah angkutan umum yang sudah sangat siap berangkat, lalu aku turut meluncur bersamanya. Tak ku pedulikan suara ibu dan mbak yang memanggil-manggilku. Betapa mereka berdua kehilangan jasa kuli gratis. Pasti mereka berfikir, “lalu siapa yang akan membawa dua kardus besar dan ransel yang juga besar itu? “. Ah, pak lek berani mengusirku, pastilah dia punya solusi untuk itu. Walaupun aku tak kan bisa menebak solusi macam apa yang bisa diberikannya dalam keadaan itu, kecuali barang-barang itu ditinggal saja dan tidak jadi dibawa serta ke Bali. Akan terasa sangat aneh ketika mereka datang tanpa barang bawaan apa-apa. Entah lah… aku sudah lepas dari apapun. Bahkan untuk keluargaku, pak lek lebih berguna dari pada kehadiran diriku sendiri. Maka, keluargaku lebih membutuhkannya daripada aku. Aku akan hanya mengurusi diriku sendiri, asal tidak merepotkan ibu, itu sudah cukup....Kenapa pikirannya begitu pendek. Dia pikir aku ikut hanya karena membayangkan betapa senangnya perjalanan ke bali, seperti anak-anak kecil itu. apa dia kira aku masih anak kecil yang ketika ibu bilang mau ke pasar, maka aku tak akan mau tinggal di rumah, aku akan ikut, aku akan ikut-ikutan ibu saja. Tidak, aku sudah lulus SMA sederajat, aku sudah mempertimbangkan apa yang sedang ku lakukan. Aku sudah mulai untuk menjadi diriku sendiri, melakukan apapun sesuai dengan keadaan diriku sendiri. Tidak lagi ikut-ikutan orang lain.Kalau berpikir dari sudut pandang pak lek, tentu saja aku seharusnya tidak ikut ke Bali. Ngabisin duwit saja, itu intinya. Keikut sertaan pak lek di keluarga kami sejak awal adalah di bagian ekonomi keuangan keluarga. Pantas saja permasalahan keluarga kami, apapun itu, bagaimanapun itu, kapanpun dan dimanapun itu, titik pertama yang terlihat baginya adalah tentang uang. Dari arah pandang keuangan, jelas aku tidak boleh ikut. Kalau ingin ikut, aku harus membayarnya sendiri. Tapi kalau lihatlah dulu permasalahan ini dari arahku, tentu saja aku harus ikut, aku sangat mencintai ibu, dengan ikut ke Bali aku bisa, minimal berusaha mengurangi kerepotannya dan berusaha menjauhkannya dari bahaya. Dan, tentu saja uang masih kalah dengan itu. Lagipula ibu dengan sukarela mau membayar ongkosku, karena aku memang dibutuhkan untuk membawa barang-barang berat itu. Ah, andai saja uangku cukup untuk ongkos, masalahnya aku memang belum menerima gaji bulan ini.Seandainya juga pak lek mau sedikit saja mengintip permasalahan ini dari sudut pandangku. Maka yang terlihat bukanlah hanya masalah uang. Maka tidak akan hanya sampai disitu pertimbangannya. Seharusnya, pada permasalahan apapun, dia membayangkan juga, bagaimana pikiran orang lain terhadap permasalahan itu.

cerpen..."kesepian"

KESENDIRIAN DAN KEPAHITANAku harus benar benar merasakn sendiri dan sepi.aku seperti tidak akan pernah dapat keramain lagi.semua orng meninggalkanku.terlalu bodohkah aku,terlalu jahatkah aku,atau aku benar-benar terlalu congkak? Saat aku mulai membenahi diri,tapi semua orang pergi menjauh.."aku harus kuat"gumamku setiap waktu.kakiku terus melangkah..sembari melihat sekeliling orang yang sedang bergunjingmembicarakanku,lalu orang-orang itu mnjuh dengan meludahiku.perih...melihatnya.Pernah aku merubah jalan hidupku dengan merubah penampilan,aku mengganti semua postur dan profil tentang aku.orang yang pertama kali aku datangi adalah keluargaku,tapi apa yang terjadi....merekapun seperti tidak melihat kehadiranku.mereka hanya diam,tidak berkomentar.dan memang tidak mempedulikanku.aku pun pergi,dan mendatangi sahabat dekatku,lalu yang terjadi lagi,dulu dia sahabat baik yang pernah bersukahati denganku.Tapi..dia meludahiku saat aku dtang dihadapannya,apalgi melihat penampilanku yang dibilang dia norak dan"menjijikan".Aku pun balik kanan,pergi meninggalkan mereka,dan kembali melangkah dikeramaian.tidak...keramaian itu lebih sakit...gunjingan keramaian sampai memekakan telinga.Aku pun berlari..meninggalkan langkah pelan menjadi seribu langkah dan seribu kekalutan.akhirnya aku berhenti,dan mencoba kembali dengan penampilan asliku.kucoba kembali ke mereka....tapi tetap mendapat perlakuan yang sama.Tuhan...tolong aku,aku seperti tidak kuat menghadapinya.Akupun melangkah lagi,tertunduk sendiri,membawa penyesalan dan duka yang sangat dalam.Akhirnya aku ingat...aku harus bersimpuh di sajadah.....aku kembali kepadaNya.setiap hari aku mengerjakan kewajibanku,tanpa kenal waktu terus aku bersimpuh.lama...malah datang sebuah bisikan yang akhirnya membuat aku takut."aku takut mati".Subhanallah.....aku benar-benar takut mati.dalam hidupku aku sendiri...terus..kalau aku mati,siapa yang akan menguburku,dan dimana aku harus dikubur?apa aku harus menyerahkan jasadku pada binatang yang akan mengoyak-ngoyak tubuhku sampai hancur dan habis.Ya Allah....ampuni dosaku.imanku tipis tidak kuat."akh...."aku berteriak,karna aku tidak bisa menangis.air mataku sudah habis dengan kesendirian.apa yang harus aku lakukan.tolong aku....Akhirnya..aku harus benar merasakan kepahitan.sewaktu lama ku merasakan takut,sembari aku bersimpuh disajadah dan menghadapnya....akupun mendengar bisikan lagi.."cepat lari....."mendengar bisikan itu aku berlari sekencang-kencangnya.....jauh..dan jauh...sampai tiba aku melihat kerumunan orang banyak ditengah jlan raya.apa yang terjadi???kulihat seseorang tergeletak bersimpah darah...matanya melotot dan bibirnya berbusa.dimatanya masih menetes seperti air mata,tapi air mata itu berwarna merah.darah."kenapa perempuan itu?" lalu kudengar seseorang berkata...dia mati diseruduk kontener,karena dia berjalan ditengah jalan.aku terus memperhatikan jasad perempuan itu.........tidak...kucubit lenganku.dan tidak merasakan sakit,kucolek orang disebelahku.tapi dia tidak melihatku.tidak...jasad perempuan yang tergeletak itu adalah aku......aku mati........mengenaskan...

cerpen "gerimis terakhir"

Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta.  setumpuk  firman  dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti  kami berdua bila melakukannya. Sederet  nilai  seolah menjadi jangkar  yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB.  Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di luar masih saja gerimis..Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
"Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah.
Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.
Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.
Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.
Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.
Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.
Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam.
Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.
Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.
Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.
Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.
Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.
Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.
Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.
Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.
Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong.
Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Apa kabarnya?
Apakah yang diinginkannya dariku sore ini?
Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?
Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam.
Alana belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua.
Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini.
Sendiri.Akhirnya aku berdiri.
Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.
“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.
Aku menoleh, lalu mengangguk.
“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.
Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja ditanam.
Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi.
Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut.
Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam

cerpen..."Penjual Pensil"

Tentunya kita pernah naik bis dan bertemu dengan pedagang yang aneh-aneh. Masih inget gak waktu pertama kali dapat “hadiah” sebuah barang yang tiba-tiba dibagikan orang di pangkuan kita waktu duduk di bis?. Mungkin pertama kali heran tetapi akhirnya jadi sedikit sebal karena kita jadi waspada karena dititipi barang dagangan dengan paksa sehingga ga enak klo mo tidur. Ada juga sih kita yang ceroboh menjatuhkan hingga ke kolong bangku, wis pokoke sangat merepotkan. Tapi klo aku sih daripada sebal mending menikmati momen sang penjual ngoceh berpromosi ria soal barang dagangannya. Terkadang ada juga yang kreatif, misalnya penjual pensil di bis beberapa tahun yang lalu.
Sambil membagi dagangannya dia nyerocos…”Silahkan dipilih warnanya macem2, hanya dengan uang lima ribu bisa dapet sepuluh pensil istimewa, warnanya pun gaul, klo suka dangdut tinggal pake yang kelap-kelip, ditanggung gak habis dalam sepuluh tahun. Pensil ini punya kemampuan bisa memendek dan kayunya empuk untuk diraut atau enak juga buat digigit-gigit karena bahannya tidak beracun dan ramah lingkungan. Selain buat nulis pensil ini punya fungsi istimewa yaitu untuk relaksasi. Tinggal dikorek-korek ke kuping pasti hidup jadi lebih indah, juga bisa buat alat pertahanan diri tinggal dicolokin ke mata lawan, atau klo nekat bisa juga digunakan sebagai tusuk gigi, tapi klo yang terakhir itu kurang disarankan…..,” Nah itu emang penjual pensil yang agak eror tapi minimal punya selling skill. Intinya sih klo mo dagang jangan sampai menjatuhkan harga diri, misalnya dengan cara melas… “ Om ayo dong dibeli, saya belum makan tiga hari.., kasihanilah, buat makan…..” hihihi cara yang ga mbois blas… Begitupun cara-cara yang gak etis misalnya ngancam-ngancam, maksa-maksa atau berbohong tentang barangnya. Sebagai konsumen kita juga ga boleh bikin pedagang sakit hati. Jadi ingat Hilman dalam novelnya Lupus Kecil, ceritanya Lupus lagi liat penjual siput laut atau keong, trus dia nanya-nanya..”Mang siputnya bisa dimakan ga?”, “ya gak bisa dek, ini kan siput laut..”..”trus bisa gigit Ga?” “ Gak dong pokoke aman kok buat mainan. Adek mo beli?” tanya pedagangnya antusias. Trus si Lupus jawab, “ Aneh, klo gak bisa dimakan dan ga bisa gigit kok dijual? Mending jualan semut Rangrang aja, walo ga bisa dimakan tapi kan bisa gigit…..” Nah itu baru sekelumit cerita tentang pedagang dan konsumen. Intinya sih sebagai konsumen kita juga ga boleh mengadul-adul barang dagangan orang tapi gak beli dengan legitimasi pembeli adalah raja, padahal yang namanya pembeli adalah yang bener2 melakukan transaksi. Tapi juga pedagang emang suka menyebalkan tapi kok kita butuh ya. Jadi seperti hubungan dilematis, benci tapi rindu… klo didepan pedagang kita jadi sok mencibir… “kok mahal banget sih bang, barangnya ga bagus nih dsb…”..tetapi begitu nyampe rumah kita cekikikan seneng karena dapet barang bagus dan murah ampe dipamerin ma temen2 sekantor. Budaya yang aneh dan mungkin bagi kita itu white lie, padahal tetep aja ga etis seperti gak etisnya pedagang yang suka bohong..”waduh klo segitu sih buat kulakannya aja ga nutup Neng..” atau “pokoknya klo ada yang lebih murah ta belinya sendiri deh..dsb..”. Hmmm… ternyata benar juga klo gak ati2 di Pasar bisa jadi tempat kita jual beli dosa..

Menunggu pelangi

“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi.                          Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan.                          Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini.                          Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka.     Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda.                            “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan.                            “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini.                           Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati.                             Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia??                         Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika.                          Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin.                              Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”.                              Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama.                              Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh.                               Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku.                               Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga  tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit.                               Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.”                                Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar -  benar dipenuhi haru hari ini,                               Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini.                                “Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA”                            Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana?                                 Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama.     “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih.                                 “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?”  tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan  heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”                              Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini.                             Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish.     Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!”                                 Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku!                                 Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi.                                   Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata  aku sudah mati.                                  Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit?                              Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya??                            “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”.                            Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang.                             Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi :  “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling  gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?”       Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo”                            Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia.      Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.