Senin, 20 Desember 2010

I Am Nothing

Aku bukanlah siapa-siapa
Ketika malam mengunciku dalam kesunyian
Aku bukanlah siapa-siapa
Kala langit mendung tak berawan
Segala harapan yang tertinggal
Kubuang jauh dalam diam
Takkan lagi kusimpan
Takkan lagi kupendam
Aku memang bukanlah siapa-siapa
Karena aku bukanlah orang yang pandai merangkai kata
Tuk tunjukkan pada dunia akan makna rasa
Aku memang tak biasa tuk berbicara
Karena aku hanya ingin merasa
Aku sudah cukup bahagia
Dengan segala yang kupunya
Walau bagimu
Aku ini tiada
Karena aku bukanlah siapa-siapa

Salah Dia....

bukan salahku kalau harus pergi
bukan salahku kalau harus rela akan semuanya
bukan salahku kalau hati ini ingin tenang
bukan salahku kalau diri ini ingin tampak lebih hidup
tapi…
salah dia karena telah membuatku pergi
salah dia karena membuatku rela akan semuanya
salah dia karena membuatku hancur hingga hati ini hitam
salah dia karena membuat diri ini seperti boneka tanpa nyawa
salah dia…
semua salah dia…
karena dia terlalu takut
takut untuk mengatakan kenyataan
kenyataan bahwa dirinya telah bosan
kenyataan bahwa dirinya butuh hal nyata
kenyataan bahwa dirinya tidak pernah dan tidak akan pernah peduli
itu cukup..
cukup sakit…

Tenang........!!!Akan segera di urus

Sering di dalam berita kusaksikan
Para TKI disiksa majikannya
Mereka berteriak, “Tolong….Tolong kami….”
Tenang, akan segera diurus kata para pejabat
Sering di dalam berita kusaksikan
Para fakir dan gelandangan kelaparan
Mereka berteriak, “Tolong….Tolong kami….”
Tenang, akan segera diurus kata para pejabat

mama.....mama....mama

“ Mama… sepatu eza mana?”
“ Ma… sisirin rambut eza donk..”
"Ma..Suapin eza donk!!!
"Ma..Antarin Eza ke sekolah!!
“ Ma… uang jajan eza di tambahin yah. Hari ini Nina mau nomat.”

Aku jenuh

Jenuh…
Bagaikan dalam sangkar
Terdiam membisu tanpa suara
Dan tak bisa berbuat apa-apa
Robot….
Itulah yang kurasakan
hidup terikat dengan peraturan
ini tak boleh itu tak boleh
Ingin kulari ke hutan
dan teriak sekeras mungkin
Namun kutahu itu tak mungkin
Karena tidak ada hutan di kota ini
Ingin kubunuh tapi siapa
dan kenapa ku harus lakukan itu?

Aku malang....Ibuku Jalang ,Bapaku Jahanam bukan kepalang

Aku dibentuk dari dua nyawa yang terpisah. Nyawa seorang pria yang menabuhi seorang wanita bernyawa dengan sperma. Aku ingat saat dulu berkejar-kejaran dengan teman-teman. Kami mencari tempat terhangat, sebelum salah satu dari kami berhenti sesaat. Siapa bilang kami bernyawa setelah salah satu dari kami mempunyai rupa? Kami telah bernyawa dari sejak kami menjadi sperma. Kalau kami tak bernyawa, mana mungkin kami punya tenaga untuk mencapai indung telur wanita. Aku juga masih ingat, sesama teman sperma yang dimuntahkan dari penis manusia, mati di jalan karena mereka berlari terlalu pelan atau kalah dalam himpit-himpitan jutaan teman yang berkejar-kejaran mencari tempat buat makan. Nyawa pertamaku dari seorang pria. Tapi sambungan hidupku berada pada wanita. Aku makan dari wanita yang kemudian kukenal dengan sebutan ibu. Ibu yang mengharapkan kehadiranku atau Ibu yang menganggapku hanya sebagai benalu. Entah yang mana ibuku, aku belum tahu.
Saat ini, aku baru saja bersenyawa dengan tubuh Ibu. Membentuk sel baru yang menyatu. Meninggalkan rupa lama yang dulu hanya berbentuk ekor dan kepala. Aku mulai tumbuh dan tak lama lagi akan membuat pergolakan rasa yang perlahan akan membuat Ibu tahu bahwa aku ada. Aku sudah tidak sabar untuk mengabarinya bahwa ia telah berhasil menciptakan bibit manusia. Aku makan dengan rakus. Aku minum karena selalu haus. Aku ingin cepat mempunyai muka, kaki, tangan, untuk mengelus, menendang bahkan menerajang. Bukan aku tak sayang. Tapi ini satu-satunya caraku untuk memberi tahu Ibu bahwa aku bukan bayang.
Tidak tahukah Ibu, bahwa aku begitu bangga. Aku juara. Aku mengalahkan berjuta ekor dan kepala lainnya yang datang mencari Ibu. Tidak tahukah Ibu, walau belum mempunyai mulut dan bibir untuk tersenyum, aku sudah tertawa, penuh rasa lega akhirnya aku tiba. Lelahku akhirnya terbalas juga. Ibu memberiku makan dari darah yang mengandung sari yang dipompa dari jantung melalui aorta.
xxxxx
Malam pertama bersama Ibu. Aku melihat Ibu duduk di atas sebuah kursi memanjang dengan bantal yang kenyal. Ia seperti menunggu. Apakah Ibu menunggu Bapakku? Aku belum tahu. Malam ini Ibu terlihat begitu cantik. Pantaslah Bapakku tidak bisa munafik untuk tidak tertarik. Ibu benar-benar bersifat magnetik. Pintu diketuk. Ibu bangkit dan berjalan secara perlahan. Seorang lelaki bertubuh tambun dengan perut menyembul, muncul. Dia bukan Bapak. Aku tahu persis siapa Bapak. Aku diam berhari-hari di tubuh Bapak sebelum akhirnya bertemu Ibu. Bapakku tampan. Wajahnya rupawan. Ia mempesona setiap perempuan. Bukan seperti lelaki yang datang ini, perawakannya tak beraturan. Mungkin saja dia bapaknya Ibu. Wajah dan penampilannya menunjukkan seperti itu. Tapi, tidak! Ia menyentuh Ibu dengan gerakan yang sama sekali tak malu-malu. Ada apa dengan Ibu? Ibu, dia bukan Bapakku. Teganya Ibu mengkhianati Bapakku.
Aku lemas. Tapi, laki-laki itu semakin panas. Gerakan-gerakan yang ia ciptakan membuat salah satu bagian tubuhnya menegang. Bagian tubuh itu, persis seperti tempatku dulu di tubuh Bapak. Aku ingat ketika Bapak berlaku seperti itu pada Ibu. Bapak bereaksi. Reaksi itu menimbulkan ereksi. Ia seakan memberi pertanda pada kami untuk siap-siap beraksi. Reaksi ereksi itu seperti permulaan arena balapan. Penuh ketegangan. Kami menunggu dalam deru erangan, yang sebentar kemudian akan memunculkan pertanda, seperti bendera yang turun di arena balapan, kami berkebut-kebutan.
Aku menunduk malu. Ibu dan lelaki itu saling beradu. Lelaki itu membolak-balik iIu seperti barbeque di arang kayu. Lalu, tumpahan-tumpahan makhluk seperti aku membasahi muka Ibu. Mereka tidak berlarian, seperti aku, di dalam liang hangat, tempat laki-laki itu singgah sesaat sebelum air maninya muncrat, mencuat, menggurat menjadi lekat di kulit Ibu yang sekat oleh keringat.
xxxxx
Aku ingin bertemu Bapak. Malam ini, malam keduaku bersama Ibu. Ibu kembali menunggu. Apakah kali ini lagi-lagi lelaki buncit yang memberi malu, atau sesungguhnya Bapak yang ditunggu? Aku belum juga tahu.
Ibu menunggu di dalam sebuah ruangan luas, megah dan nyaman. Ia sendirian. Tapi tidak sepenuhnya sendirian. Ia ditemani segelas minuman. Minuman itu begitu elegan dalam gelas kaca dengan kaki panjang menawan. Ibu menenggaknya. Beberapa menit kemudian aku merasakan sesuatu yang tak nyaman. Minuman itu memabukkan. Oh Ibu, kali ini dia membuatku mabuk. Tubuhku yang belum sepenuhnya terbentuk ini terasa berputar-putar. Dunia tempat Ibu berpijak, berguncang dan seakan tak berhenti bergetar. Aku gemetar. Tapi aku tak gentar. Aku ingin tetap terjaga. Aku ingin bersamanya ketika ia bersama siapa saja, sehingga aku bisa mengenal wajah seorang Bapak yang kutunggu kedatangannya.
Masih, yang datang lagi-lagi lelaki. Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih sangat terawat. Wajahnya tampan dengan senyum yang sangat memikat. Pantas saja seorang Ibu terjerat. Apakah ia Bapak? Bukan. Sudah kukatakan, Bapakku memang tampan dan rupawan, ia mampu memikat perempuan. Tapi Bapakku berkulit kecokelatan. Lelaki itu datang menjenguk Ibu. Tidak seperti lelaki tambun tak tahu malu yang langsung menyentuh Ibu tanpa ragu. Ia duduk dan berbicara terlebih dulu. Bercanda. Lantas tertawa-tawa. Ia pun meminum minuman yang diminum Ibu. Lalu berbaring dan membuka baju. Bajunya. Dan baju Ibu.
Ia menaiki Ibu yang tengah terbaring. Lalu ia menyatukan tubuhnya dan tubuh Ibu seperti anjing. Suara desah Ibu terpecah melengking. Menciptakan bunyi yang membuat tubuh tanpa kepalaku pusing dan pening.
Makhluk-makhluk yang dulunya seperti aku, akhirnya keluar. Mereka seperti lahar yang mencahar karena panas bergejolak yang membakar. Tumpahan-tumpahan itu berlalu bersama waktu, dengan gerakan yang membuat lelaki itu bersimpuh layu. Ini tempatku. Matilah kalian sebelum sampai lebih dalam di rahim Ibu. Aku sudah tiba lebih dulu. Sudah tidak kusisakan lagi sedikitpun tempat untuk kalian menyatu.
xxxxx
Dan aku masih menunggu. Menunggu Bapakku. Tapi Ibu tak pernah lagi bertemu Bapak. Sekian hari sekian waktu Ibu selalu bersama laki-laki. Ibu bertemu laki-laki. Ibu tidur dengan laki-laki. Ibu mencampuri laki-laki. Ibu bercinta dengan laki-laki. Kemudian mereka datang dan pergi, silih berganti. Lompat-lompatan. Desah-desahan. Gerakan jumpalitan hingga ledakan tumpahan air kemaluan, bukan lagi keanehan. Tapi, lompat-lompatan, gerakan jumpalitan, hingga ledakan tumpahan air kemaluan yang bukan lagi keanehan, tidak Ibu lalui bersama Bapak.
Dan hari ini, hari ketujuh bersama Ibu. Ibu masih belum tahu keberadaanku. Ia masih sibuk dengan dirinya yang luar biasa. Luar biasa sempurna. Luar biasa menggoda. Luar biasa bercinta. Laki-laki manapun takluk dan bertekuk lutut padanya. Aku marah pada keluarbiasaan Ibu. Aku kecewa pada gaya hidupnya. Aku putus asa pada sikapnya. Dan aku menerjang. Walau tak punya kaki tangan aku menendang, membuat Ibu mabuk kepayang. Aku ingin Ibu sadar. Aku ingin Ibu dengar. Aku ingin Ibu gentar, bahwa aku ada. Aku nyata. Aku bibit manusia buah bercinta dengan pria yang belum kujumpa.
Ibu meraung. Ia memuntahkan isi perut yang ia kandung. Aku tak urung. Terus kugetar-getarkan tubuhku untuk membuatnya terhuyung. Ibu tersandar. Ia lelah karena harus memuntahkan makanannya keluar. Wajahnya panik. Lalu ia mengambil sesuatu dalam sebuah kotak yang berbungkus plastik. Benda itu berbentuk kertas tipis memanjang secarik. Ibuku mengamat-amati benda itu. Kemudian ia menduduki kloset dan mengencinginya. Ia diam. Menunggu dalam bimbang. Ia berdiri. Berjalan bolak-balik mondar-mandir sambil menggenggam benda itu dan berpikir. Ia meliriknya. Dengan bola mata yang terbuka lebar, nanar, ia memaki.
“Bangsat!
xxxxx
Aku semakin besar kini. Aku berteman dengan benda yang kemudian kukenal dengan sebutan, ari-ari kembaran. Aku sudah memiliki tangan dan kaki, walaupun belum sepenuhnya memiliki jari jemari. Aku tetap makan. Tapi tak lagi makan dengan lahap. Aku tetap minum. Tapi tak lagi minum dengan harap. Aku tumbuh karena aku memang tumbuh dan waktu perlahan membuatku begitu. Sebentar lagi aku akan membuat kulit Ibu meretas. Dan Ibu bukan lagi sadar, tapi juga akan membesar.
Aku seperti tak berhenti meratapi diri, sementara ari-ari tak berhenti mencaci maki. Ia menyebut-nyebut aku si tolol yang dungu. Aku memang tolol dan dungu. Itu semua karena Ibu.
“Hey Jabang Bayi, berhentilah kau berharap. Dunia yang sesungguhnya memang pengap. Kalau kau tak tau caranya bertahan kau bisa megap-megap.”
“Masa bodoh dengan dunia di luar sana, Ari-ari. Aku tak pantas diperlakukan seperti ini. Tahukah Ibu bahwa aku mani yang menang lomba lari terpanjang seantero bumi? Bukan salahku kalau aku kemudian menghuni tempat ini. Aku disuruh lari, aku lari. Teman-teman berkejar-kejaran, aku ikutan. Mereka balapan, aku memimpin di depan, hingga akhirnya aku tiba dalam rahim seorang perempuan. Perempuan yang tak berperasaan.”
“Dia jelas-jelas lupa saat ia masih menjadi sperma. Dunia sudah membuat ia lupa asal mula. Dunia kehidupan yang berbeda, kata mereka.”
“Aku benci Ibu.”
“Ibumu pelacur.”
“Dan aku anak pelacur yang vaginanya selalu menjadi tempat bercampur.”
Ibuku benar-benar tak punya belas kasihan. Ia tak hanya membuatku mabuk dengan minuman. Ia mengisi udara paru-paruku dengan asap yang membuatku jengap. Asap yang ia hirup dan ia jadikan oksigen sampingannya untuk bernafas menjadi racun yang membekas. Ibu benar-benar tak pernah menginginkanku. Ia Ibu yang hanya menganggapku benalu.
xxxxx
Malam ini ia kembali menunggu. Entah laki-laki mana lagi aku sudah tak mau tahu. Dia memang selalu seperti itu. Tidur dengan laki-laki yang datang dan berlalu.
Malam ini, Ibuku tak cantik. Tak seperti biasa, ia terlihat kusut masai dengan rambut berantakan tergerai-gerai. Tubuhnya hanya terbalut kaos singlet berwarna putih. Ia tak memakai bawahan, hanya mengenakan celana dalam berwarna hitam. Ia duduk di sisi jendela di atas sebuah sofa berlengan. Dan dari dalam sini, bisa kurasa bahwa di luar sana sedang hujan. Tangannya memegang sepuntung rokok yang abunya sudah bertumpuk menunggu jatuh. Kakinya bertekuk dan ia peluk.
Seorang laki-laki tiba-tiba datang. Laki-laki itu berperawakan tinggi. Ia tampan dan rupawan. Wajahnya memikat setiap perempuan dan kulitnya kecokelatan. Kulit muka yang sepertinya berewokan meninggalkan bekas cukuran yang terlihat jantan. Ia sungguh laki-laki yang menawan. Dan ia Bapakku.
“Ari-ari, lihat siapa yang datang. Itu Bapakku. Bapak kita.”
“Tenanglah, Jabang Bayi bodoh.”
“Aku takkan bisa tenang, Ari-ari. Aku akan menendang perut Ibu sebagai pertanda agar ia tahu. Aku ingin ia memberi tahu Bapak bahwa kita ada.”
“Diamlah, kau Jabang Bayi tolol. Kau tendang seperti apapun ia takkan memberitahunya. Ia tetap akan diam, dan diam saja.”
“Kenapa ia takkan memberi tahunya, Ari-ari. Lelaki itu Bapak kita. Dan ia berhak tahu bahwa aku ada juga karena dia.”
“Karena Ibumu jalang, makhluk malang. Perempuan itu pun tak tahu siapa yang telah mencampurinya. Jadi memberi tahu laki-laki itu hanya akan sia-sia dan merusak acara bercinta mereka.”
Lelaki yang kusebut-sebut Bapak tidak langsung menyentuh Ibu, seperti lelaki tambun yang penuh nafsu. Ia juga tidak seperti lelaki menarik yang memulai percintaan dengan candaan menggelitik. Ia diam seribu bahasa. Ibu pun diam. Mereka tak saling berteguran. Lelaki yang kusebut Bapak itu kemudian bergerak ke depan Ibu yang masih melihat hujan. Ibu masih tak membuat gerakan. Sesaat kemudian ia menoleh, Ibu dan menghujaninya dengan tamparan.
Aku tersekat. Ibuku tetap diam. Lelaki itu menarik tubuh Ibu dan mencengkramkan kedua tangannya ke leher jenjang Ibu. Ibu tak terpekik walau setengah mati ia tercekik. Bapakku semakin membabi buta. Ia merobek pakaian Ibu sampai tak satupun tersisa. Ibu masih tak melawan. Bahkan ketika lelaki yang kusebut Bapak itu menunggangi Ibu seperti binatang, Ibu terkesan pasrah dan melemah. Bapakku memaki. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah cacian meskipun ia begitu kenikmatan.
Aku menutup mukaku dengan kedua tangan yang baru terbentuk seakan menahan malu. Begitukah Bapakku saat membuat aku. Hinanya aku. Hal yang sudah lama kutunggu berjumpa dengan Bapak tidak seperti apa yang menjadi pengharapan rindu. Bapak tidak mencium Ibu dengan hangat, ia menamparnya. Bapak tidak memeluk Ibu dalam dekap, ia mencekiknya. Bapak tidak bercinta dengan Ibu penuh dengan rasa, ia memakinya. Ia seperti pawang yang menunggangi binatang yang telah terlebih dulu di cucuk lubang hidungnya. Ibuku benar-benar perempuan binal. Ia pelacur profesional. Ia melayani laki-laki manapun yang tak ia kenal. Sampailah ia bertemu Bapak yang tak kalah nakal. Jadilah aku hasil hubungan yang penuh malu. Lelaki itu tak akan pernah tahu bahwa aku dulu adalah benda berekor dan berkepala yang ada di tubuhnya, dan kini melebur dalam tubuh pelacur, tubuh Ibu, menjadi zygot, menjadi embrio, menjadi setengah manusia yang sudah memiliki kepala sesungguhnya kepala.
Argh! Aku penat. Ibuku perempuan laknat. Bapakku lelaki bangsat.
xxxxx
“Aku seakan tak punya harapan hidup, Ari-ari.”
“Bodohnya kau, Jabang Bayi. Tidak ingatkah perjuanganmu untuk sampai ke tempat ini?”
“Percuma saja, Ari-ari. Ibu Bapak tak menginginkanku.”
“Persetan dengan mereka. Kau tetap berhak melihat dunia.”
Aku terdiam sejenak. Ari-ari kembaranku benar. Aku tak mau mati di sini. Aku sudah hidup dan bernyawa. Perjuangan sampai ke tempat ini sangat berharga. Aku bukan hanya makhluk berekor dan berkepala yang tumpah di muka wanita, di lantai, di kasur, lalu dibuang sia-sia. Aku sudah menjadi setengah manusia, dan aku memiliki hak seperti para manusia, karena aku sudah menjadi bagian dari mereka.
“Ari-ari, apa aku akan melupakan saat-saat ini ketika aku seutuhnya menjadi manusia sejati?”
“Maaf Jabang Bayi, aku rasa kau tidak akan pernah muncul di dunia untuk menghirup udara?”
“Kenapa, Ari-ari? Kenapa?”
Belum sempat ari-ariku menjawab, aku sudah merasakan guncangan hebat bergetar dalam ruang sempit di sekelilingku. Aku bergerak, meronta, melawan, menerjang guncangan yang menarikku juga menarik ari-ari kembaran. Tenaga yang kami miliki sungguh tak sebanding dengan kekuatan angin maha dahsyat yang menyedot kami. Mataku terbuka lebar, nanar, persis seperti mata Ibu saat baru menyadari keberadaanku. Sungguh aku tak percaya bahwa Ibu benar-benar tega. Tanpa sadar aku terisak, dalam tangisan yang rasanya sesak. Ari-ari dan aku saling berpegangan, saling berpelukan. Dan ini adalah perpisahan.
Wahai Ibu, teganya kau padaku. Aku darah. Aku dagingmu. Aku bagian tubuhmu. Sekarang kau membuangku seakan aku sampah. Benda tak berharga yang keberadaannya hanya menyesakkan dunia.
Aku sudah tak mampu lagi meronta. Ari-ariku sudah tak lagi berbicara. Tidak ada juga udara yang mampu kuhirup untuk membakar tenaga. Hanya perasaan marah yang bergejolak dan tergelak-gelak seperti lava. Aku malang. Ibuku jalang. Bapakku jahanam bukan kepalang.
“Kalau saja kau ingat seluruh perjuanganmu mencapai tempat di rahimmu, Ibu, kau pasti tak akan melakukan ini semua. Hanya saja, dunia menggerus ingatanmu. Dan tak lagi membekaskan memori masa lalu asal muasalmu. Aku manusia, Ibu. Walau setengah manusia. Aku berhak hidup dan melihat dunia, walau ia fana.”
Dan aku lemas, tak lagi bernafas. Aku hanya berharap untuk diberi lagi kesempatan menjadi mani pada laki-laki, yang akan kembali membuatku berjuang dan berkejar-kejaran dalam himpitan. Mudah-mudahan aku sampai pada perempuan yang menanti kedatanganku. Bukan Ibu yang hanya menganggapku sebagai benalu.

kau Gila....

Kau gila!
Kau gila!
Inikah yang kau bilang sayang?
Inikah yang kau bilang cinta?
Mana??
Kau bodoh!
Tolol!
Kau takkan mengerti aku
Kau takkan tahu semua tentangku
Kau takkan tahu rasaku
Kau takkan tahu kehidupanku
Kau takkan tahu kebencianku
Kau takkan tahu rinduku
Kau takkan tahu masa laluku
Kau takkan tahu cintaku
Kau takkan pernah tahu

Surat Untukmu

Dalam sepi kucoba renungi
Makna segala perkataanmu
Kucoba ‘tuk ambil hikmahnya
Kucoba tersenyum pada nasib
Kau ingkari hatimu
Demi ‘tuk raih sebuah harapan
Dalam kecewa kukagumi dirimu
Bulan pun sembunyi malam ini
Pengorbanan seorang perawan
Yang dulu pernah bersinar
Biarkan mereka menyerang
Biarkan mereka hancurkan

dimanakah Cinta???

Di manakah cinta?
Apabila cinta bermain akrobat di belakangku…
Bila cinta bersembunyi di balik selimut palsu
Bila wajahnya pun bersembunyi di balik topeng
Sehingga belaian hanyalah sebuah bayangan semu
Di manakah cinta?
Bila bibir seperti sayat belati…
Bila mata seperti api menjalar..
Bila langkah menjadi terseret-seret
Sehingga terhempas debu dan angin kencang

Waktu....

waktu membawaku berlari begitu cepat
menarik erat tubuhku,
memaksaku untuk tetap menatap ke depan
masa lalu,
ingin aku menolehnya sebentar saja
sekedar untuk menghilangkan dahaga kerinduanku
akan masa-masa indah
saat aku masih memiliki cinta
saat ini sepertinya aku mati
rasaku hilang entah kemana
duka. .
bahagia. .
apapun namanya, semua bagiku sama
tak ada lagi indah yang dulu selalu membuatku tersenyum

Kabut

Aku bingung maunya hati ini
Sebentar rindu ingin bertemu
Sebentar benci dilanda api cemburu
Yang terbayang hanya raut wajahnya
Yang terbersit hanyalah senyum manisnya
Tertawa bersamanya bagaikan surga
Bertengkar dengannya membuatku sengsara

Ketika Menangis

Saat hujan menitik,
apa gunanya menanyai awan?
Kau tidak benar-benar ingin tahu.
Hanya takut basah, kan?
Jadi, apa perlunya bertanya?
Hujan akan reda juga.
Lalu kau akan lupa.

Hancur

awan…
apa kau tahu?
aku di sini sedang menanti
sebuah jendela yang mungkin akan terbuka
bersama hantaman angin
awan….
maukah kau tahu?
sejenak ku tak tahu
dan terus terpaku dalam ragu
sampai aku benar-benar sadar
dihantam angin

nafas terakhir

Jika semua ini memang harus terjadi
Terjadilah….
Aku bukanlah siapa-siapa dan aku bukanlah segalanya
Kehidupan ini bagiku hanyalah kesia-siaan
Biarkan aku pergi…
Biarkan aku meninggalkan penderitaanku
Aku hanya ingin beristirahat
dan mencari secercah ketenangan
Mungkin langkahku harus terhenti sampai di sini
Karena ku tak tau kemana lagi harus melangkah
Duniaku begitu gelap, tiada terang yang menyinari

D'rita.... djie

Kisah nyata

baca sampe abis yah........ceritanya menyentuh banget!!!!!!!


Derita Djie....... (dari Oh mama Oh Papa)

Sebut saja namaku Djie..dan aku masih ingat ketika seorang ibu mendandaniku
sehingga tampak sangat cantik sekali..

Kisah sedihku ini dimulai ketika seorang dengan wajah seram datang
ketempatku dengan mulut bau minuman, dengan suara serak meminta dengan
paksa
supaya aku ikut dengannya.
Kulihat dia menyelipkan uang ke tangan ibu yang menjagaku sambil
menyeringai
memperlihatkan deretan gigi yang hitam2 menjijikan.
Tapi apa dayaku sehingga akupun terpaksa ikut dengannya meski entah apa
yang
terjadi pada diriku ini.
Aku memang lemah dan tak punya kekuatan untuk menolaknya.
Dibawanya aku pergi sehingga tak seberapa lama kudengar dari kejauhan suara
cekikikan wanita-wanita.
Semakin dekat dengan tempat itu, aku melihat ada 4 orang laki-laki ditemani
wanita-wanitanya sambil minum-minum.

Ahhh minuman keras lagi?..
Orang yang membawaku masuk dalam kumpulan orang-orang itu yang ternyata
temannya, sambil memandangi diriku dengan penuh nafsu dan kelihatannya aku
mau dimakan hidup-hidup. Tiba-tiba tangannya menyentuh diriku.
Merabaku sehingga tak ada lagi diseluruh tubuhku yang tidak dijamahnya aku
tak bisa berkata apa-apa.

Dan sekali lagi aku memang lemah dan tak punya kekuatan tuk menolak tingkah
laku orang ini.
Melihat apa yang dilakukannya pada diriku, ke-empat temannya ternyata tidak
tinggal diam. Sambil teriak-teriak "bagi donk, bagi donk...!!!"

Akupun juga mengalami perlakuan yang paling menyedihkan,akhirnya secara
bergiliran merekapun menjamahku dari ujung keujung dengan penuh kepuasan
dan
bukan itu saja yang mereka lakukan mereka mulai mengulum & menghisap ujung
tubuhku. Tapi tetap saja aku tidak berontak karena aku lemah dan tak punya
kekuatan untuk menolaknya.

Aku begitu lemah, sehingga perlakuan keji mendatangiku berkali-kali hanya
demi sebuah kepuasaan sesaat, hanya aku biarkan saja.

Dan itupun masih terjadi sampai saat ini.




Note : pada saat orang itu memaksaku pergi, dia memanggil nama lengkapku
Djie Sam Soe isi 12 batang.

Serius amat bacanya, hehehe...