Kamis, 25 November 2010

cerpen "sudut...."

Ud, migu bsk pulng ap g?, ibu, mbh ptri ma mbk mo k bali, k rmh bude kurti. Anaknya disunat d sna, km kut ap g?”. Itulah, sms yang hari ini membuat aku harus meninggalkan pekerjaanku yang sangat ku cintai. Ah, taka apa lah, tak bisa ku bayangkan jika ibu, mbak, dan embah putri, perempuan-perempuan itu, pergi ke bali dengan beban beberapa tas berisi pakaian masing-masing dan pakaian anak-anak, beberapa kardus berisi bekal makanan dan minuman di perjalanan dan oleh-oleh untuk kerabat di bali, lalu beberapa anak kecil yang selalu tidak mau diam, lari kesana-kemari, minta dibelikan apapun yang dijajakan para penjual, menangis berebut mainan yang baru saja dibelikan dan segala macam tingkah polah yang pastinya akan mampu membuat darah mengepul ke ubun-ubun kepala. Bayangku, betapa repotnya kalau tak ada laki-laki di sana, betapa repotnya kalau tidak ada aku yang turut hadir menjadi kuli gratis mereka. Betapa aku tak tega melihat perempuan-perempuan yang ku sayangi itu terkulai-kulai menenteng kardus-kardus dan tas-tas besar sambil berusaha marah-marah terus demi menertibkan anak-anak kecil. Perempuan-perempuanku itu, dengan kardus-kardus dan tas-tasnya harus tergopoh-gopoh mengejar bus yang tidak akan mau menunggu lama karena harus berangkat cepat-cepat. Perempaun-perempuan yang ku sayangi itu harus mengipasi anak-anak yang terus merengek karena sesak dan pengap ruang bus yang seperti oven, terus saja memanggang penumpang.Sesampainya di pelabuhan Ketapang, setelah mereka dan bus yang mereka tumpangi naik ke kapal laut. Akan ada beberapa kesulitan lagi yang harus dihadapi. Embah putri mabuk laut yang pastinya akan muntah-muntah tak karuan. Ibu yang akan mengurus embah putri dengan baik. Tapi, apa yang bisa dilakukan mbak yang sendirian dengan bayi lima bulan di gendongannya dan harus mengurus dua anak laki-laki kecil lainnya, adikku yang juga adiknya dan anaknya yang juga keponakanku. Pasti mbak nangis di tengah selat Bali karena ulah nakal anak-anak kecil bandel itu. Apa aku bisa tega membiarkan mereka berangkat tanpaku setelah membayangkan sedemikian sulitnya. Belum lagi para copet dan jambret yang pastinya tak akan pandang bulu, tak akan mau tahu kalau wanita-wanita itu sendirian dan sudah kesusahan dari tadi. Tak akan penjahat-penjahat itu mempertimbangkan bahwa sebagian dari mereka itu janda dan tidak memiliki uang yang cukup untuk dijambret. Tak akan mau berpikir para kriminal itu bahwa wanita seharusnya dilindungi dan bukan untuk dijajah dan dijadikan objek sasaran kekerasan. Tak akan mereka berpikir sepanjang itu, pikiran mereka sependek dan sedangkal duit koin. Makanya aku suka dengan orang yang suka mikir, karena memang harga penggunaan otak saat ini sudah begitu mahal, karena stok pasar menipis.Setelah sampai di pelabuhan Gilimanuk Bali, bus pengap akan berjalan lagi ke arah selatan, Denpasar. Bus berhenti di terminal dan perempuan-perempuan itu harus terseok-seok lagi menyeret-nyeret tas-tas dan kardus-kardus itu untuk mencari jasa transportasi umum dalam kota. Pasti terminal itu begitu asing bagi mereka, pasti mereka pikir sangat berbeda dengan ketika mereka berangkat di terminal sepi lengang kota kami. Betapa ramainya terminal ini, dan betapa bingungnya mereka saat itu. Perjalanan mereka yang tanpaku itu, betapa membuat mereka terlihat begitu mengenaskan. Maka, ketika ibu bersedia membayari biaya transportasiku, aku memutuskan untuk ikut saja menemani mereka. Mungkin aku tak akan kuat mengejar jambret yang kabur begitu cepatnya, mungkin aku tak akan begitu berguna dalam hal mengasuh anak, dan mungkin, juga tidak terlalu tangguh untuk bisa mengangkut semua barang sekaligus. Tapi, tetap saja, Harus ada laki-laki di antara mereka.Maka, hari ini dan tiga hari mendatang aku harus tidak bekerja, menemani mereka Goes To Bali.Ini di kawasan terminal kota kami. Dari para peserta keberangkatan kami, tinggal embah putri yang belum hadir. Beliau tinggal dengan pak lek di desa lain. Maka embah putri akan menemui rombongan kami di terminal ini, dengan diantar pak lek tentunya. Seperti yang sudah ku bayangkan, di punggungku tercantol ransel besar berisi berbagai pakaian, di samping kaki kananku tergeletak kardus besar penuh telur dan buah mangga sebagai oleh-oleh, sedangkan di sisi kaki kiriku juga tergeletak kardus besar berisi berbagai macam kue olahan sendiri yang bobotnya tak bisa dianggap remeh. Kesemuanya itu, tanggung jawabku, aku yang harus menentengnya kemanapun kami berjalan. Kalaupun ada yang hilang, berarti mereka harus menyalakiku, menyalahkanku, mendampratku. Tidak boleh selain aku.Bagian mbak adalah mengendalikan anak-anak dengan dibantu ibu. Sedangkan embah putri yang sebentar lagi akan datang harus membawa tas pakaiannya sendiri, mungkin hanya berisi dua pasang pakaian. Cukup enteng ku kira, tak perlu bantuanku untuk membawakannya.Sedangkan anak-anak kecil sudah mulai berlarian kesana-kemari, memaksa embak marah-marah yang membuat suasana menjadi lebih panas dari suhu yang seharusnya. Belum memulai perjalanan saja anak-anak itu sudah minta dibelikan bebagai makanan ringan, susu botol, soft drink, buah-buahan dan berbagai macam barang dagangan di kawasan terminal itu. Si bayi lima bulan yang dalam gendongan pun mulai menangis karena tak betah denga udara panas, dan suara bising dari berbagai pihak, termasuk bising yang keluar dari mulut ibunya sendiri. Keadaan mulai berantakan, kacau tak terkendali.Dan keadaan tambah kacau dengan satu kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut pak lek, yang lurus tertuju padaku. “kamu kok ikut, apa punya uang?”. Tang..!!, langsung menepis habis kepalaku.Sebelumnya, mari saya ceritakan tentang pak lek ini. Bukan dari sifat-sifat baik dan buruknya, tetapi akan saya ceritakan tentang konektivitasnya dengan keluarga kami selain sebagai pak lek. Semenjak bapak meninggal dunia tanpa mewarisi apapun kecuali hutang, pak lek ini lah yang membantu menegakkan ekonomi keluarga kami sedikit demi sedikit hingga ibu bisa bangkit dengan kaki-kakinya sendiri dan tidak membutuhkan siapapun lagi untuk menghidupi dirinya sendiri dan adikku yang masih SD, hingga aku berhasil lulus MAN dan sekarang bisa bekerja untuk makan sendiri. Sekarang, keluargaku, keluarga ibuku mampu mandiri, mampu mengurusi semua hal sendirian. Tapi, bagaimanapun juga, masih tetap harus ada pria dewasa yang bertugas turut mengawasi semuanya. Itulah tugas pak lek sekarang. Pengawas.Dan ku kira, pertanyaannya barusan adalah hasil dari suatu proses evaluasi yang dia lakukan dalam hal perjalanan ke Bali kali ini. Khususnya pada ke-ikut-sertaanku yang tanpa biaya sendiri ini. Aku sudah lulus SMA sederajat, itu artinya aku tidak boleh lagi membebani ibuku dengan meminta uang terlalu banyak. Dan tentu saja pergi ke bali membutuhkan uang yang banyak, kesalahanku adalah tetap pergi walaupun tidak punya uang, hingga membebani ibu untuk hal biaya transportnya.…Bisa-bisanya dia ikut, sudah lulus sekolah masih saja ngrepotin orang tua. Tega-teganya minta uang sebanyak itu untuk ongkosnya. Seharusnya dia sudah tidak boleh meminta apapun lagi ke ibunya. Masakan tidak lihat dia, ibunya bisa menghidupi dan menyekolahkan adiknya saja itu sudah sangat luar biasa. Ibunya juga sudah bersusah-susah membayar hutang yang sedemikian banyak, juga sudah berhasil melunaskan semua tanggungan di sekolah hingga dia dapat ijazahnya. Masih mau apa lagi, untuk ukuran janda miskin, itu sudah lebih dari kapasitas. Tak boleh ada beban lagi.Apa dia tidak tahu sil-silah nenek moyang keluarganya, semua keturunan keluarga ini sudah mencari makan sendiri sejak usia lima belas tahun. Mereka mandiri dan terbiasa hidup susah. Mereka pejuang-pejuang kehidupan. Bahkan di pesantern dulu, aku tak pernah meminta kiriman dari orang tua, aku-lah yang malah mengirimi mereka uang dari sisa tabunganku, darimana aku dapat uang itu adalah pertanyaan lawas. Aku bekerja dan bekerja. Aku tak mau lagi membebani orang tuaku. Sekarang, dengan entengnya dia ikut-ikutan ke Bali minta di bayarin. Minta uang lagi, minta uang lagi, uang lagi, uang terus, uang terus, bahkan untuk hal yang tidak berguna baginya seperti bepergian ke Bali kali ini.Dan lagi, seharusnya dia masuk kerja. Apa dia kira bekerja itu sebegitu gampang untuk ditinggalkan. Awas saja kalau dia dipecat bosnya dan masih minta uang lagi ke ibunya, akan ku marahi habis-habisan dia. Memang gampang mencari pekerjaan di masa seperti ini. Awas kalau minta-minta duwit lagi. Keturunan keluarga ini tidak boleh ada yang semanja itu. Tidak boleh ada yang secengeng itu. Tidak boleh ada yang sebanci itu. Semua harus berjuang untuk apa yang dia butuhkan dan apa yang dia inginkan. Tak akan ada yang segampang uluran tangan orang lain. Kalau mau sesuatu, dia harus memperjuangkan itu sendirian. Tak ada cara lain.…Sesaat setelah pertanyaan yang serasa menyepak kepalaku itu, ku turunkan ransel dari punggung ku. “ sebaiknya aku nggak ikut saja “, kataku. Aku langsung berjalan ke arah angkutan umum yang sudah sangat siap berangkat, lalu aku turut meluncur bersamanya. Tak ku pedulikan suara ibu dan mbak yang memanggil-manggilku. Betapa mereka berdua kehilangan jasa kuli gratis. Pasti mereka berfikir, “lalu siapa yang akan membawa dua kardus besar dan ransel yang juga besar itu? “. Ah, pak lek berani mengusirku, pastilah dia punya solusi untuk itu. Walaupun aku tak kan bisa menebak solusi macam apa yang bisa diberikannya dalam keadaan itu, kecuali barang-barang itu ditinggal saja dan tidak jadi dibawa serta ke Bali. Akan terasa sangat aneh ketika mereka datang tanpa barang bawaan apa-apa. Entah lah… aku sudah lepas dari apapun. Bahkan untuk keluargaku, pak lek lebih berguna dari pada kehadiran diriku sendiri. Maka, keluargaku lebih membutuhkannya daripada aku. Aku akan hanya mengurusi diriku sendiri, asal tidak merepotkan ibu, itu sudah cukup....Kenapa pikirannya begitu pendek. Dia pikir aku ikut hanya karena membayangkan betapa senangnya perjalanan ke bali, seperti anak-anak kecil itu. apa dia kira aku masih anak kecil yang ketika ibu bilang mau ke pasar, maka aku tak akan mau tinggal di rumah, aku akan ikut, aku akan ikut-ikutan ibu saja. Tidak, aku sudah lulus SMA sederajat, aku sudah mempertimbangkan apa yang sedang ku lakukan. Aku sudah mulai untuk menjadi diriku sendiri, melakukan apapun sesuai dengan keadaan diriku sendiri. Tidak lagi ikut-ikutan orang lain.Kalau berpikir dari sudut pandang pak lek, tentu saja aku seharusnya tidak ikut ke Bali. Ngabisin duwit saja, itu intinya. Keikut sertaan pak lek di keluarga kami sejak awal adalah di bagian ekonomi keuangan keluarga. Pantas saja permasalahan keluarga kami, apapun itu, bagaimanapun itu, kapanpun dan dimanapun itu, titik pertama yang terlihat baginya adalah tentang uang. Dari arah pandang keuangan, jelas aku tidak boleh ikut. Kalau ingin ikut, aku harus membayarnya sendiri. Tapi kalau lihatlah dulu permasalahan ini dari arahku, tentu saja aku harus ikut, aku sangat mencintai ibu, dengan ikut ke Bali aku bisa, minimal berusaha mengurangi kerepotannya dan berusaha menjauhkannya dari bahaya. Dan, tentu saja uang masih kalah dengan itu. Lagipula ibu dengan sukarela mau membayar ongkosku, karena aku memang dibutuhkan untuk membawa barang-barang berat itu. Ah, andai saja uangku cukup untuk ongkos, masalahnya aku memang belum menerima gaji bulan ini.Seandainya juga pak lek mau sedikit saja mengintip permasalahan ini dari sudut pandangku. Maka yang terlihat bukanlah hanya masalah uang. Maka tidak akan hanya sampai disitu pertimbangannya. Seharusnya, pada permasalahan apapun, dia membayangkan juga, bagaimana pikiran orang lain terhadap permasalahan itu.

cerpen..."kesepian"

KESENDIRIAN DAN KEPAHITANAku harus benar benar merasakn sendiri dan sepi.aku seperti tidak akan pernah dapat keramain lagi.semua orng meninggalkanku.terlalu bodohkah aku,terlalu jahatkah aku,atau aku benar-benar terlalu congkak? Saat aku mulai membenahi diri,tapi semua orang pergi menjauh.."aku harus kuat"gumamku setiap waktu.kakiku terus melangkah..sembari melihat sekeliling orang yang sedang bergunjingmembicarakanku,lalu orang-orang itu mnjuh dengan meludahiku.perih...melihatnya.Pernah aku merubah jalan hidupku dengan merubah penampilan,aku mengganti semua postur dan profil tentang aku.orang yang pertama kali aku datangi adalah keluargaku,tapi apa yang terjadi....merekapun seperti tidak melihat kehadiranku.mereka hanya diam,tidak berkomentar.dan memang tidak mempedulikanku.aku pun pergi,dan mendatangi sahabat dekatku,lalu yang terjadi lagi,dulu dia sahabat baik yang pernah bersukahati denganku.Tapi..dia meludahiku saat aku dtang dihadapannya,apalgi melihat penampilanku yang dibilang dia norak dan"menjijikan".Aku pun balik kanan,pergi meninggalkan mereka,dan kembali melangkah dikeramaian.tidak...keramaian itu lebih sakit...gunjingan keramaian sampai memekakan telinga.Aku pun berlari..meninggalkan langkah pelan menjadi seribu langkah dan seribu kekalutan.akhirnya aku berhenti,dan mencoba kembali dengan penampilan asliku.kucoba kembali ke mereka....tapi tetap mendapat perlakuan yang sama.Tuhan...tolong aku,aku seperti tidak kuat menghadapinya.Akupun melangkah lagi,tertunduk sendiri,membawa penyesalan dan duka yang sangat dalam.Akhirnya aku ingat...aku harus bersimpuh di sajadah.....aku kembali kepadaNya.setiap hari aku mengerjakan kewajibanku,tanpa kenal waktu terus aku bersimpuh.lama...malah datang sebuah bisikan yang akhirnya membuat aku takut."aku takut mati".Subhanallah.....aku benar-benar takut mati.dalam hidupku aku sendiri...terus..kalau aku mati,siapa yang akan menguburku,dan dimana aku harus dikubur?apa aku harus menyerahkan jasadku pada binatang yang akan mengoyak-ngoyak tubuhku sampai hancur dan habis.Ya Allah....ampuni dosaku.imanku tipis tidak kuat."akh...."aku berteriak,karna aku tidak bisa menangis.air mataku sudah habis dengan kesendirian.apa yang harus aku lakukan.tolong aku....Akhirnya..aku harus benar merasakan kepahitan.sewaktu lama ku merasakan takut,sembari aku bersimpuh disajadah dan menghadapnya....akupun mendengar bisikan lagi.."cepat lari....."mendengar bisikan itu aku berlari sekencang-kencangnya.....jauh..dan jauh...sampai tiba aku melihat kerumunan orang banyak ditengah jlan raya.apa yang terjadi???kulihat seseorang tergeletak bersimpah darah...matanya melotot dan bibirnya berbusa.dimatanya masih menetes seperti air mata,tapi air mata itu berwarna merah.darah."kenapa perempuan itu?" lalu kudengar seseorang berkata...dia mati diseruduk kontener,karena dia berjalan ditengah jalan.aku terus memperhatikan jasad perempuan itu.........tidak...kucubit lenganku.dan tidak merasakan sakit,kucolek orang disebelahku.tapi dia tidak melihatku.tidak...jasad perempuan yang tergeletak itu adalah aku......aku mati........mengenaskan...

cerpen "gerimis terakhir"

Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta.  setumpuk  firman  dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti  kami berdua bila melakukannya. Sederet  nilai  seolah menjadi jangkar  yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB.  Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di luar masih saja gerimis..Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
"Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah.
Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.
Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.
Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.
Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.
Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.
Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam.
Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.
Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.
Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.
Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.
Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.
Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.
Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.
Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.
Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong.
Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Apa kabarnya?
Apakah yang diinginkannya dariku sore ini?
Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?
Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam.
Alana belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua.
Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini.
Sendiri.Akhirnya aku berdiri.
Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.
“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.
Aku menoleh, lalu mengangguk.
“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.
Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja ditanam.
Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi.
Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut.
Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam

cerpen..."Penjual Pensil"

Tentunya kita pernah naik bis dan bertemu dengan pedagang yang aneh-aneh. Masih inget gak waktu pertama kali dapat “hadiah” sebuah barang yang tiba-tiba dibagikan orang di pangkuan kita waktu duduk di bis?. Mungkin pertama kali heran tetapi akhirnya jadi sedikit sebal karena kita jadi waspada karena dititipi barang dagangan dengan paksa sehingga ga enak klo mo tidur. Ada juga sih kita yang ceroboh menjatuhkan hingga ke kolong bangku, wis pokoke sangat merepotkan. Tapi klo aku sih daripada sebal mending menikmati momen sang penjual ngoceh berpromosi ria soal barang dagangannya. Terkadang ada juga yang kreatif, misalnya penjual pensil di bis beberapa tahun yang lalu.
Sambil membagi dagangannya dia nyerocos…”Silahkan dipilih warnanya macem2, hanya dengan uang lima ribu bisa dapet sepuluh pensil istimewa, warnanya pun gaul, klo suka dangdut tinggal pake yang kelap-kelip, ditanggung gak habis dalam sepuluh tahun. Pensil ini punya kemampuan bisa memendek dan kayunya empuk untuk diraut atau enak juga buat digigit-gigit karena bahannya tidak beracun dan ramah lingkungan. Selain buat nulis pensil ini punya fungsi istimewa yaitu untuk relaksasi. Tinggal dikorek-korek ke kuping pasti hidup jadi lebih indah, juga bisa buat alat pertahanan diri tinggal dicolokin ke mata lawan, atau klo nekat bisa juga digunakan sebagai tusuk gigi, tapi klo yang terakhir itu kurang disarankan…..,” Nah itu emang penjual pensil yang agak eror tapi minimal punya selling skill. Intinya sih klo mo dagang jangan sampai menjatuhkan harga diri, misalnya dengan cara melas… “ Om ayo dong dibeli, saya belum makan tiga hari.., kasihanilah, buat makan…..” hihihi cara yang ga mbois blas… Begitupun cara-cara yang gak etis misalnya ngancam-ngancam, maksa-maksa atau berbohong tentang barangnya. Sebagai konsumen kita juga ga boleh bikin pedagang sakit hati. Jadi ingat Hilman dalam novelnya Lupus Kecil, ceritanya Lupus lagi liat penjual siput laut atau keong, trus dia nanya-nanya..”Mang siputnya bisa dimakan ga?”, “ya gak bisa dek, ini kan siput laut..”..”trus bisa gigit Ga?” “ Gak dong pokoke aman kok buat mainan. Adek mo beli?” tanya pedagangnya antusias. Trus si Lupus jawab, “ Aneh, klo gak bisa dimakan dan ga bisa gigit kok dijual? Mending jualan semut Rangrang aja, walo ga bisa dimakan tapi kan bisa gigit…..” Nah itu baru sekelumit cerita tentang pedagang dan konsumen. Intinya sih sebagai konsumen kita juga ga boleh mengadul-adul barang dagangan orang tapi gak beli dengan legitimasi pembeli adalah raja, padahal yang namanya pembeli adalah yang bener2 melakukan transaksi. Tapi juga pedagang emang suka menyebalkan tapi kok kita butuh ya. Jadi seperti hubungan dilematis, benci tapi rindu… klo didepan pedagang kita jadi sok mencibir… “kok mahal banget sih bang, barangnya ga bagus nih dsb…”..tetapi begitu nyampe rumah kita cekikikan seneng karena dapet barang bagus dan murah ampe dipamerin ma temen2 sekantor. Budaya yang aneh dan mungkin bagi kita itu white lie, padahal tetep aja ga etis seperti gak etisnya pedagang yang suka bohong..”waduh klo segitu sih buat kulakannya aja ga nutup Neng..” atau “pokoknya klo ada yang lebih murah ta belinya sendiri deh..dsb..”. Hmmm… ternyata benar juga klo gak ati2 di Pasar bisa jadi tempat kita jual beli dosa..

Menunggu pelangi

“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi.                          Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan.                          Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini.                          Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka.     Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda.                            “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan.                            “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini.                           Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati.                             Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia??                         Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika.                          Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin.                              Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”.                              Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama.                              Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh.                               Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku.                               Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga  tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit.                               Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.”                                Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar -  benar dipenuhi haru hari ini,                               Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini.                                “Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA”                            Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana?                                 Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama.     “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih.                                 “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?”  tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan  heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”                              Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini.                             Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish.     Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!”                                 Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku!                                 Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi.                                   Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata  aku sudah mati.                                  Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit?                              Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya??                            “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”.                            Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang.                             Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi :  “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling  gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?”       Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo”                            Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia.      Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.